TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik langkah pemerintah memblokir media sosial dan membuat whatsapp down.
Ya, dalam tiga hari terakhir pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika membuat langkah memperlambat akses media sosial untuk membendung liarnya informasi yang dapat mengganggu ketentraman keamanan negara, terutama di grup WA.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menilai pemerintah tidak bisa melakukan secara gegabah dan sembrono.
"Janganlah ingin menegakkan hukum tetapi dengan cara melanggar hukum. Janganlah ingin menangkap seekor tikus tetapi dengan cara membakar lumbung padinya. Bagaimanapun pemblokiran itu melanggar hak-hak publik yang paling mendasar yakni mendapatkan informasi bahkan merugikan secara ekonomi," ucap Tulus Abadi, Jumat (24/5/2019).
Pemblokiran itu secara sektoral melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta UU sektoral lainnya, dan secara general melanggar UUD 1945.
Menurut Tulus Abadi, pemerintah seharusnya tidak melakukan pemblokiran tanpa paramater dan kriteria yang jelas.
"Ke depan, janganlah pemblokiran ini menjadi preseden buruk pemberangusan suara publik yang dijamin oleh konstitusi. Tidak bisa "dikit dikit blokir". Pemblokiran hanya bisa ditoleransi jika dalam keadaan darurat, dan parameter darurat harus jelas dan terukur," ujar Tulus.
Tak bisa dipungkiri, media sosial, whatsapp dan sejenisnya bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
YLKI berharap pemerintah harus mampu menjelaskan kepada publik manfaat dan efektivitas pemblokiran tersebut.
"Jangan sampai pemblokiran tidak punya efek siginifikan. Apalagi masyarakat bisa bermanuver dengan cara lain, seperti menggunakan VPN dan atau menggunakan medsos lainnya," ujar Tulus.
Bantah
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara membantah kalau pembatasan akses media sosial akan diberlakukan hingga 10 hari.
Rudiantara mengatakan dirinya hanya bisa berharap bahwa pembatasan akses media sosial ini bisa segera dihilangkan.
Ia mengatakan begitu situasi kondusif pasca aksi 22 Mei, maka fitur-fitur yang dibatasi bisa segera difungsikan kembali.
"Tidak ada pernyataan diperpanjang 10 hari, justru saya berharap situasi segera pulih sehingga fitur video dan gambar dari media sosial, instant messaging serta video file sharing bisa segera difungsikan," kata Rudiantara.
Rudiantara menyatakan pemulihan akses media sosial saat ini masih menunggu suasana kondusif.
Kepastian situasi kondusif ini baru dapat diketahui setelah mendapat informasi dari aparat keamanan.
"Tunggu suasana kondusif atau tidak, tentu itu tunggu masukan dari pihak keamanan. Dari sisi intelijen, sisi Polri, sisi TNI, kalau sudah kondusif kita akan fungsikan kembali fitur-fitur karena saya sendiri merasakan dampak yang saya buat sendiri," ujar Rudiantara.
Menkopolhukam Wiranto sebelumnya menyebut pembatasan akses medsos akan dilakukan selama tiga hari sampai 25 Mei 2019.
Staf pengajar Departemen Filsafat Universitas Indonesia Donny Adian Gahral berpendapat, langkah tegas pemerintah tersebut sudah tepat karena kebebasan berpendapat dalam hak asasi manusia tidak mutlak.
"Kebebasan berpendapat yang menghasut, memecah belah, memanipulasi informasi bisa dibatasi apalagi saat situasi genting dimana keselamatan bangsa dan negara menjadi taruhannya," katanya.
Agar tercipta masyarakat yang sehat dan kritis, Donny mengajak pengguna medsos agar tidak mudah memforward informasi dari sumber yang meragukan.
"Agar tidak termakan dengan propaganda agitasi yang tidak masuk akal," katanya.
Sementara itu, pemerhati komunikasi Fetty Azizah menilai langkah pemerintah mengambil keputusan tegas tersebut layak diapresiasi.
Di mana, di negara demokrasi seperti Indonesia tanpa ketertiban hanya akan menghasilkan sikap anarki.
Fetty menegaskan bahwa konten hoax yang tidak berbasis fakta dapat menimbulkan instabilitas negara.
"Marak beredarnya video, foto, dan konten lain di sosmed pada kenyataannya tidak bisa dijamin oleh penyedia platform, seperti instagram, facebook, atau Whatsapp, dan lainnya," kata Fetty.
Fetty mencontohkan di beberapa negara maju seperti Jerman dan Singapura sudah mengatur penggunaan sosmed. Bagi pengguna yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi hukum.
"Negara harus membuat aturan yang membatasi konten sosmed semata-mata untuk menciptakan ketertiban (order) di sosmed. Jadi untuk alasan menjaga ketertiban umum, memang diperlukan pembatasan-pembatasan," ujarnya.
Fetty menegaskan bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat bukan berarti tanpa aturan.
"Demokrasi hanya bisa tegak bila ada rule of law yang menjadi rambu-rambu bagi masyarakat warga," ujarnya. (Tribun Network/nas/sen/wly)