TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Hadiekuntono’s Institute (Research, Intelligent, Spiritual) Suhendra Hadikuntono mensinyalir ada hidden agenda atau agenda terselubung dari Medical Emergency Rescue Committe (MER-C) yang hendak membawa kasus tewasnya sejumlah demonstran dalam aksi 21-22 Mei 2019 di Jakarta ke Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag, Belanda.
Sebab itu, ia mengingatkan pemerintah agar ekstra-hati-hati dalam menyikapinya, dan siap membantu pemerintah menyiapkan ahli hukum internasional.
"You 'kan tahu, Hadiekuntono Institute itu rumahnya pakar hukum. Bahkan beberapa mantan Hakim Agung juga menghubungi saya untuk membantu. Jujur saja, kualitas beberapa ahli hukum internasional klta masih low grade, sehingga kita terpaksa beberapa kali kalah di Mahkamah Internasional," kata Suhendra di Jakarta, Minggu (26/5/2019).
Baca: Warungnya Dijarah Saat Kerusuhan 22 Mei, Kini Rajab Bisa Mulai Jualan Usai Diamplopin Uang Jokowi
Dia mencontohkan hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari Indonesia. Sebab itu,pemerintah harus ekstra-hati-hati, jangan-jangan MER-C punya agenda terselubung.
"Bila pemerintah memerlukan, kami siap bantu dengan ahli hukum internasional yang terbaik, silakan dicek track records mereka," ujarnya.
Baca: Setelah MK, Tim Prabowo-Sandi Berencana Bawa Kasus Pilpres ke Mahkamah Internasional
Ia diminta komentar soal Dewan Penasihat MER-C Joserizal Jurnalis yang mengklaim menemukan peluru tajam terkait aksi 21-22 Mei 2019.
Peluru tajam itu disebut ditembakkan ke korban. Joserizal mengaku akan membawa kasus ini ke MI di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Di pihak lain, pemerintah dan Polri sejak awal menyatakan aparat keamanannya tidak dibekali peluru tajam, tetapi hanya peluru karet, pentungan dan gas air mata untuk membubarkan para demonstran pendukung pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menolak hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memenangkan capres petahana Presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan KH Maruf Amin dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 dengan selisih 16,9 juta suara.
Melihat rekam jejak MER-C, Suhendra mengaku tidak heran bila mereka ingin membawa perkara ini ke MI.
Mereka percaya diri karena sudah pernah melakukan hal yang sama dan menang saat "menggugat" Israel pada tragedi penyerangan Kapal Max Marvara yang membawa bantuan kemanusian ke Palestina.
MER-C menang, Israel kalah dan menerima sanksi internasional.
"Kita harus waspada, jangan-jangan MER-C ini berkamuflase dan hendak mengail di air keruh. Jika Israel saja kalah, bagaimana Indonesia?" tanyanya.
Mengapa dirinya terpanggil membantu pemerintah, Suhendra mengaku semua itu demi kecintannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Right or wrong is my country,” cetusnya sambil mengaku khawatir bila kasus ini dibawa ke MI maka akan ada intervensi dari PBB maupun negara-negara lain yang selama ini kurang bersahabat dengan Indonesia.
Niat Suhendra membantu pemerintahan Presiden Jokowi menghadapi MER-C ini bukan pepesan kosong belaka.
Sebab, ia telah membuktikan dedikasinya kepada negara melalui perannya sebagai Ketua Komite Perubahan Sepak Bola Nasional (KPSN) yang melakukan aksi “bersih-bersih” di tubuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Catatan media, aksi “bersih-bersih” PSSI oleh KPSN tersebut berimplikasi pada mundurnya Edy Rahmayadi dari jabatan Ketua Umum PSSI serta penetapan 17 tersangka perkara match fixing, hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah sepak bola di seluruh dunia.