TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membuka posko pengaduan terhadap korban kekerasan peristiwa rusuh 21-22 Mei 2019.
Posko pengaduan tersebut dilakukan bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan LBH Pers.
Staff pembelaan HAM KontraS, Andi Muhammad Rezaldy mengungkapkan hingga hari ini, Senin (3/6/2019) telah ada tujuh keluarga korban yang mengadu.
"Hingga sekarang kami menerima 7 pengaduan," kata Andi saat dihubung Tribunnews.com, Senin (3/5/2019).
Baca: Pertemuan Jokowi Dengan Prabowo Bukan Perihal Pengakuan Kalah Atau Menang
Ia mengatakan secara umum keluarga korban yang mengadu mengalami proses penegakan hukum yang tidak adil.
Untuk itu, Andy menyebut pihaknya menempuh mekanisme yang ada untuk menindaklanjuti aduan keluarga korban.
Yakni, meminta Komnas HAM dan Ombudsman untuk turun tangan melakukan pendalaman atas aduan yang diterima KontraS.
"Kami akan meminta Komnas Hak Asasi Manusia dan Ombudsman Republik Indonesia untuk segera turun tangan melakukan pendalaman dan pengawasan terhadap pengaduan yang kami terima, atas proses hukum yang diduga telah melawan hukum dan tidak menghormati hak asasi manusia," jelasnya.
Baca: Ifan Seventeen Terduduk Digerebek Sejumlah Pria di Apartemen, Ceweknya Ngamuk-ngamuk Direkam
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membuka posko pengaduan terhadap korban kekerasan peristiwa rusuh 21-22 Mei 2019.
Dilakukan bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan LBH Pers, sudah ada tujuh pengaduan yang masuk sejak dibukanya pos aduan yakni 27 Mei lalu.
"Pos pengaduan memberikan ruang bagi korban untuk melakukan pengaduan. Ini dibuka 27 Mei hingga 1 Juni. Sedikitnya sudah ada 7 pengaduan yang diterima," ujar Koordinator KontraS, Yati Andriyani, di Kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, Minggu (2/6/2019).
Yati memaparkan adanya penemuan dugaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia dengan pola yang sama dari pengaduan tersebut.
Dari tujuh pengaduan yang dilaporkan keluarga F, RM, FM, AR, ANR, ID, dan AF, semuanya mengaku ada kekerasan fisik seperti penyiksaan saat ditangkap dan diperiksa oleh aparat kepolisian.
Selain itu, mereka tidak diperkenankan bertemu dengan keluarga selama penahanan, juga tidak ada pemberian bantuan hukum selain pengacara dari kepolisian.
Bahkan Yati menyebut keluarga tidak diberitahu perihal penangkapan dan penahanan itu, yang dimana juga tidak ada surat penangkapan dan penahanan, serta ada dugaan salah tangkap pelaku kerusuhan.
"Mulai dari Keluarga tidak boleh membesuk. Lalu kekerasan pada saat penahanan. Kita akan menganalisa laporan ini sesuai aturan-aturan yang ada. Kekerasan dan pelanggaran ini dapat bermuara pada dihukumnya orang yang tidak bersalah," kata dia.
KontraS bersama LBH Jakarta dan LBH Pers meminta kepolisian membuka akses kepada kuasa hukum dan keluarga agar dapat bertemu korban.
Ia menilai upaya ini penting dilakukan untuk memastikan tidak ada orang bersalah yang ditangkap dan dihukum oleh polisi atas aksi kerusuhan 21-22 Mei.
"Juga dilakukan untuk meminimalisir kabar bohong yang bertebaran di media sosial, sekaligus memastikan kabar hoaks tersebut dan penegakan hukum berjalan sesuai prinsip-prinsip fair trial dan hak asasi manusia," tukasnya.