TRIBUNNEWS.COM - Empat anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) termasuk ajudan petinggi menyatakan diri kembali ke NKRI, Sabtu (8/6/2019)
Empat orang anggota OPM menyatakan kesetiaan dan kembali ke NKRI.
Salah satunya adalah Telangga Gire, yang merupakan ajudan Goliat Tabuni yang menjadi petinggi OPM.
Hal tersebut dilakukan di Kabupaten Puncak Jaya, Papua.
"Hari ini (8/06/2019), sekitar 08.15 WIT Telangga Gire menyatakan menyerahkan diri serta berikrar kesetiaan kepada NKRI di hadapan Dandim 1714/PJ Letkol Inf Agus Sunaryo didampingi oleh 25 orang anggota Kodim di Kampung Wurak Distrik Illu Kabupaten Puncak Jaya," ujar Kapendam XVII Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi, dikutip Tribunnews dari laman Kompas.
Selain itu, ada tiga orang lainnya yang mengikuti Telangga yang mengambil keputusan kembali ke NKRI, mereka adalah, Piningga Gire (25), Tekiles Tabuni (30) dan Perengga (27).
Mereka juga menyerahkan satu pucuk senjata api jenis Mosser dan sejumlah munisi cal 7,62.
"Menurut Telangga bahwa senjata tersebut adalah milik polisi yang dirampas pada saat penyerang Polsek Karubaga, Kabupaten Tolikara tahun 2013," kata Aidi.
Menurut dia, Telangga dan rekan-rekannya merasa tertipu oleh Goliat Tabuni dan kelompoknya bahwa tidak lama lagi Papua akan merdeka dan mereka akan dijanjikan jabatan tinggi.
"Kami bertahun-tahun hidup menderita di hutan, kepanasan, kedinginan, kehujanan, kelaparan dan lain-lain. Tiap hari hanya makan petatas dan keladi ambil dari kebun warga, sementara pembangunan di kampung-kampung dan di kota-kota semakin maju dan warga hidup sejahtera," ucap Aidi.
Bupati Puncak Jaya, Yuni Wonda diklaim Aidi telah menyanggupi untuk memberikan mereka pekerjaan dan memperbaiki rumahnya.
10 Prajurit Naik Pangkat Bupati juga berencana akan melaksanakan upacara penerimaan warga pada 11 Juni 2019 dengan mengundang warga Mulia, Puncak Jaya.
Saat ini, Telangga Gire dkk beserta senjatanya sudah berada di Makodim dalam rangka pendataan.
Sebelumnya tim juga berpendangan masalah Papua tidak akan dapat diselesaikan melalui operasi militer.
Apabila pendekatan keamanan ini dilanjutkan, maka dugaan-dugaan kasus pelanggaran HAM di Papua akan terus terjadi dan mendapat sorotan internasional.
Karena itu, tim memberikan masukan kepada pemerintah dan DPR untuk mengutamakan pendekatan dialogis berbasis kemanusiaan, buukan pendekatan militer. Karena pendekatan militer bukanlah solusi penyelesaian masalah Papua.
"Kami menyarankan agar pemerintah dan DPR dapat menggunakan pengalaman penting di aceh ketika melakukan dialog yang difasilitasi oleh pihak yang netral, sebagaimana pemerintah telah memfasilitasi perdamaian demi mengakhiri konflik bersenjata di Aceh," tegasnya.
Baca: Kronologi Pembunuhan Pendeta Melinda: Diikat Menggunakan Karet Ban Motor, Diperkosa hingga Dicekek
"Kami sangat mengharapkan Bapak Presiden Jokowi segera menarik pasukan dan mengajak Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk melakukan dialog, karena hasil investigasi kami menemukan banyak warga sipil yang mengalami korban fisik mauppun jiwa juga harta benda," tambah Pendeta Esmon Walilo.
Untuk diketahui, Tim Investigasi Kasus Nduga Papua turun ke lapangan. Hasilnya mereka menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM di Nduga akibat dari operasi militer.
Di antaranya puluhan ribu masyarakat terpaksa mengungsi di hutan, ibu hamil melahirkan di hutan, gereja rusak hingga anak-anak putus sekolah.
Baca: Presiden Terpilih Diminta Selamatkan Warga Nduga dengan Pendekatan HAM dan Kemanusiaan
Itu semua karena rumah dan kampung mereka ikut hancur ketika militer melakukan pengejaran terhadap anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Operasi militer dilakukan pasca pembunuhan brutal terhadap pekerja jembatan PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018 silam.
Baca: Digosipkan dengan Gading Marten, Sophia Latjuba Beri Pengakuan Ini, Gisella Anastasia: Gak Papa
Baca: Wawancara Khusus Dua Pembunuh Melinda: Si Bocah Pingsan Dibanting, Pelaku Tahu Korban Menstruasi
(Tribunnews.com/Gigih/ Dhias Suwandi/Thersia Felisiani)