TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa Hukum pengusaha Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, Maqdir Ismail melayangkan keberatan atas peneteapan kliennya sebagai sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Maqdir, KPK telah mengingkari perjanjian yang dibuat Pemerintah dengan warga negaranya.
“SN telah mengikuti permintaan pemerintah untuk menandatangani Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998 kemudian ditindaklanjuti dengan memberikan surat R&D pada 25 Mei 1999. Dalam agreeement itu pemerintah berjanji untuk melepaskan SN dari segala tuntutan hukum atau segala hak hukum apapun yang mungkin dimiliki Pemerintah. Suatu perjanjian bersifat mengikat kedua belah pihak yang membuatnya, selayaknya undang-undang. Dan sekarang KPK menjadikan SN dan IN sebagai tersangka,” kata Maqdir Ismail, dalam keterangannya.
Ia menjelaskan, SN mengikuti permintaan menandatangani MSSA itu sebagai bagian upaya mendukung pemerintah yang tengah berusaha keras mengatasi kesulitan dalam memulihkan ekonomi akibat krisis.
Baca: Dewi Perssik Sudah Berfirasat Sebulan Sebelum Ayah Meninggal, Ini Alasan Tetap Membawanya ke Jakarta
Baca: Belum Terlambat! Tata Cara Pendaftaran SBMPTN 2019 di sbmptn.ltmpt.ac.id, Lakukan Cara Mudah Ini
Baca: Begini Tafsir Mimpi Muntah Darah, Tak Selalu Berkaitan dengan Kondisi Kesehatan Anda!
Baca: Diduga akan Membuat Keributan, 17 Napi Lapas Kelas IIB Banda Aceh Dipindah ke Nusakambangan
Menurut Maqdir, KPK tidak bisa mengabaikan perjanjian yang dibuat Pemerintah, karena institusi ini adalah bagian dari Pemerintah, sebagaimana ditegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017 tanggal 3 Februari 2018.
KPK harus menghormati seluruh perjanjian yang sudah dibuat oleh Pemerintah secara sah dan dilindungi undang-undang maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR).
"Apalagi, KPK menetapkan SN dan IN sebagai tersangka yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Padahal angka sebesar itu muncul dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017, yang prosesnya sangat aneh dan tidak memenuhi Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Audit investigasi ini permintaan dan berdasarkan data yang disodorkan KPK dan dimana prosesnya tidak memenuhi standard karena tidak ada partisipasi auditee dan tidak ada konfirmasi ataupun klarifikasi kepada pihak-pihak terkait dalam MSAA.
Ia menambahkan, selain tidak lazim, proses audit BPK 2017 itu juga justru bertentangan dengan dua hasil audit sebelumnya oleh BPK.
Saat ini, pihak SN tengah mengajukan gugatan atas hasil dan proses audit BPK 2017 ini Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Kini proses pemeriksaan perkara dan persidangannya masih berlangsung.
Dalam penjelasan tertulisnya, Maqdir menjelaskan, SN menandatangani MSAA pada 21 September 1998. Kemudian, pada 25 Mei 1999 Menteri Keuangan dan Ketua BPPN memberikan kepadanya Surat Pembebasan dan Pelepasan (Release and Discharge - R&D).
Dokumen negara itu kemudian dipertegas dalam akta “Letter of Statement” yang dibuat dihadapan Notaris Merryana Suryana. Isinya, antara lain, menyatakan SN telah memenuhi seluruh kewajiban pembayaran BLBI dan hal terkait lainnya, sehingga Pemerintah menerbitkan Release & Discharge kepadanya.
Dengan surat tersebut Pemerintah menjamin dan membebaskan para pemegang saham dari tuntutan hukum apa pun di kemudian hari berkaitan dengan penyelesaian BLBI. Pemerintah berjanji tidak akan melakukan tuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata.
Tanggapan KPK
Juru Bicara KPK Febri Diansyah tak ambil pusing dengan pernyataan Maqdir. Menurutnya, sejauh ini, KPK belum menerima surat dari Sjamsul soal penunjukan Maqdir sebagai kuasa hukum. "Kami pandang, tidak terdapat hal baru dari penjelasan yang disampaikan oleh Dr Maqdir Ismail yang mengaku sebagai kuasa hukum SJN tersebut," ujar Febri.
Febri menuturkan, sebaiknya bantahan atau sanggahan dari kubu Sjamsul disampaikan saja secara langsung ke penyidik, agar keterangannya bisa diuji di proses persidangan nantinya.