TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasal penodaan agama kembali dikritisi lantaran kembali dipergunakan untuk menjerat seorang perempuan berinisial SM.
Diketahui, SM merupakan perempuan yang sempat viral di media sosial lantaran membawa masuk seekor anjing ke dalam masjid di kawasan Kabupaten Bogor, beberapa hari lalu.
Baca: Wanita yang Bawa Anjing ke Masjid Positif Skizofrenia dan Tetap Diproses Hukum
Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos menilai penerapan pasal tersebut, terutama dalam konteks kasus tersebut bermasalah.
Pertama, penerapan pasal tersebut dalam kasus SM sekadar instrumen favoritisme untuk menunjukkan keberpihakan dan menyenangkan kelompok warga mayoritas.
"Pihak kepolisian, dalam hal ini Polres Bogor, sebenarnya sudah mengakui bahwa SM mengidap gangguan kejiwaan, artinya secara hukum lemah sekali dugaan adanya niat jahat (mens rea) yang secara normatif mestinya menjadi salah satu dasar utama dalam pemidanaan seseorang," kata Bonar Tigor Naipospos dalam keterangannya, Rabu (3/7/2019).
Bonar Tigor menilai kepolisian lebih dipengaruhi oleh tekanan psikologi mayoritas, dibandingkan penegakan keadilan secara objektif dalam due process of law.
Hal itu terkonfirmasi dalam konferensi pers Polres Bogor tentang penetapan tersangka SM dengan pasal penodaan agama yang juga dihadiri oleh MUI Kabupaten Bogor.
Kedua, Bonar Tigor mengatakan substansi pasal penodaan agama tidak menjamin kepastian hukum (lex certa), maka penerapannya dalam penetapan tersangka SM sulit untuk mewujudkan keadilan bagi SM dan masyarakat pada umumnya.
Melihat konteks penerapan pasal penodaan agama selama ini sangat beragam, dari persoalan politik, ekonomi, konflik internal keluarga, hingga persoalan putus cinta, tampak bahwa pasal ini tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan sehingga sepatutnya menjadi objek reformasi hukum yang diprioritaskan.
"SETARA Institute sejak beberapa tahun terakhir merekomendasikan agar kepolisian melakukan moratorium penerapan pasal ini," kata Bonar Tigor.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, SETARA Institute mengimbau agar pihak kepolisian, terutama Kepala Polri, untuk meninjau ulang penetapan status hukum SM dalam kasus dimaksud.
Baca: Bersalaman dengan Paus Fransiskus, Dewi Minta Didoakan untuk Terwujudnya Perdamaian Dunia
Kepolisian, kata Bonar Tigor, harus menjadi penegak hukum yang adil dan profesional dengan menghindari penggunaan hukum untuk alasan non hukum dan tidak tunduk pada tekanan non hukum dalam penanganan kasus hukum terutama penodaan agama.
"SETARA Institute mendesak kepolisian untuk tidak lagi menggunakan pasal penodaan agama, sebab konstruksi pasal tersebut secara aktual dan potensial melahirkan ketidakadilan, terutama bagi kelompok rentan dan minoritas keagamaan," tutur Bonar Tigor.
Berikut fakta terbaru dari kasus wanita yang bawa anjing ke dalam masjid dikutip Tribunnews.com dari Kompas.com.