Pemecatan ASN koruptor sejalan dengan pasal 87 ayat (4) huruf b Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pasal 87 ayat (4) huruf b berisi: PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Aturan itu digugat seorang warga ke Mahkamah Konstitusi, April lalu. MK menolaknya, seraya menegaskan kembali ASN yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus diberhentikan secara tidak hormat.
Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XVI/2018 tanggal 25 April 2019 mewajibkan PNS/ASN korup harus dibenhentikan dengan tidak hormat.
Putusan MK ini menegaskan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) melakukan perbuatan yang ada kaitannya dengan jabatan seperti korupsi, suap, dan lain-lain agar segera diberhentikan dengan tidak hormat.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus diberhentikan secara tidak hormat.
Putusan itu menjawab gugatan Hendrik, seorang PNS/ASN asal Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, yang pernah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada 2012.
Hendrik menggugat pasal 87 ayat (4) huruf b Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menurut hakim, pemberhentian ini merupakan hal wajar lantaran perbuatan yang dilakukan telah menyalahgunakan bahkan mengkhianati jabatan sebagai ASN.
"Seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana secara langsung atau tidak, telah mengkhianati rakyat karena menghambat tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya," ujar hakim seperti dikutip dalam laman putusan MK yang diakses, Kamis (25/4/2019).
Aturan ini digugat Hendrik lantaran setelah bertugas kembali sebagai PNS Pemkab Bintan, muncul aturan pada 2018 berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menpan-RB, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara.
SKB itu menyatakan perintah pemberhentian PNS koruptor paling lambat Desember 2018. Sebagai penggugat, Hendrik beralasan aturan itu bertentangan dengan jaminan untuk mendapatkan perlindungan yang sama di hadapan hukum.
Penggugat membandingkan dengan caleg eks narapidana kasus korupsi yang masih diperbolehkan mendaftar caleg.
Namun hakim berkukuh pemberhentian PNS koruptor tetap harus dilakukan lantaran yang bersangkutan telah melanggar sumpahnya untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
"Sumpah untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945 bukan sekadar formalitas tanpa makna melainkan sesuatu yang fundamental," katanya. (Tribun Netwrok/thf/Kompas.com/cnn)