Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Komunikasi Politik, Hendri Satrio mengingatkan keinginan masyarakat untuk pemerintahan kedua Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi).
Hendri Satrio menegaskan masyarakat menginginkan adanya oposisi untuk mengawasi kinerja pemerintahan Jokowi-Maruf Amin untuk periode 2019-2024.
"Pastinya keinginan masyarakat ada oposisi sehingga cek and balance di pemerintah ada," ujar pendiri lembaga analisis politik KedaiKOPI ini kepada Tribunnews.com, Senin (8/7/2019).
Karena itu, kurang tepat jika rekonsiliasi diartikan bersatunya semua partai politik kepada pemerintahan Jokowi.
Meskipun dia menduga di balik seruan rekonsiliasi pascapemilu 2019 itu, pemerintahan Jokowi menginginkan agar tidak terjadi kegaduhan dalam melaksanakan program-programnya.
Baca: Komnas Perempuan Berharap Banyak Kepada Jokowi Berikan Amensti Untuk Baiq Nuril
Baca: 5 Fakta Liu Yifei Pemeran Film Mulan Live Action Disney, Ternyata Pecinta Kucing
Baca: Kementerian Keuangan Imbau Masyarakat Waspadai Lelang Fiktif
"Supaya tidak gaduh. Sehingga bisa lancar program-program kerja itu diharapkan kubu pak Jokowi," jelasnya.
Selain itu dia juga mempertanyakan kelanggengan koalisi Jokowi, jika terjadi semua partai politik berada di pemerintahan.
Karena dikhawatirkan keakuran akan terjadi paling lama tiga tahun.
Setelah itu, semua partai politik sibuk untuk kepentingan Pemilu 2024.
Bila itu yang terjadi, maka masyarakat akan sangat dirugikan.
Hal itu akan berbeda jika ada partai politik yang menjadi oposisi.
Baca: 13 Jam Diperiksa Polisi, Galih Ginanjar Tak Menyesal Permalukan Fairuz A Rafiq, Status Masih Saksi
Baca: Komnas Perempuan Yakin Komisi III DPR Akan Mendukung Jika Jokowi Beri Amnesti untuk Baiq Nuril
Ia pun menyarankan kepada Jokowi-Maruf Amin untuk benar-benar menyamakan visi dan misinya terlebih dahulu kepada partai dari oposisi yang akan bergabung ke pemerintahan kedua yang akan dipimpinnya.
"Sebelum menawarkan kursi Menteri, yang lebih penting itu adalah bagaimana ide-ide atau gagasan dari oposisi bisa diterima dan dijalankan oleh koalisi Jokowi," jelasnya.
"Itu lebih efektif ketimbang menawarkan jatah kursi Menteri," imbuhnya.
Menurut dia, bila semangat dan visi-misinya berbeda, maka itu akan sangat berbahaya bagi pemerintahan Jokowi-KH Maruf Amin.
Sehingga pemerintahan Jokowi-Maruf Amin tidak lagi menjadi sejalan dan efektif dalam menjalankan program kerjanya.
"Akan beda jalannya nanti. Karena Jokowi akan diganggu oleh partai-partai koalisinya dalam bekerja nantinya," jelasnya.
PKS siap jadi oposisi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak takut jika akhirnya harus sendirian menjadi oposisi dalam pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.
Hal itu ditegaskan Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera terkait isu bergabungnya sejumlah partai pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke koalisi Jokowi-Maruf Amin.
"PKS istiqomah insyaAllah akan di oposisi," ujar mantan Wakil BPN Prabowo-Sandiaga tersebut kepada Tribunnews.com, Selasa (2/7/2019).
Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat diketahui sudah sejak lama dirumorkan akan bergabung dengan pemerintahan Jokowi pada 2019.
Baca: Jawab Kritikan Pedas Bobotoh, Pelatih Persib Singgung Soal Barcelona
Baca: Alasan Polri Tidak Kabulkan Penangguhan Penahanan Kivlan Zen: Tidak Kooperatif
Baca: Jokowi Bertemu TKN dan TKD di Istana Bogor Malam Ini, Berikut Agendanya
Belakangan, Gerindra melalui Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno juga ditawarkan bergabung ke koalisi pemenang Pemilu 2019.
Menurut wakil ketua Komisi II DPR RI ini, Gerindra, PAN dan Partai Demokrat juga sejauh ini masih belum menegaskan sikapnya apakah akan bergabung dengan pemerintah atau seperti PKS mengambil posisi menjadi oposisi.
"Semua masih melakukan proses internal," jelas Mardani Ali Sera.
Sejalan dengan proses internal yang masih berlangsung tersebut, PKS terus membuka komunikasi untuk menjelaskan urgensi oposisi di periode pemerintahan 2019-2024.
Baca: Sambangi BNPT, Wadah Pegawai KPK Terus Kawal Seleksi Pimpinan KPK
"Komunikasinya masih berjalan. Kami coba jelaskan urgensi oposisi. Kami mengajak semua koalisi Adil Makmur dan Rakyat Indonesia menjadi Oposisi Konstruktif bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo–KH Maruf Amin."
"Saatnya kita merapikan barisan untuk menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah. Selama kita istiqomah membela rakyat sama saja kebaikan yang di dapat, baik di dalam ataupun di luar pemerintahan," paparnya.
Semangat demokrasi
Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi mengatakan, ajakan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) merangkul partai oposisi dalam kabinetnya perlu diwaspadai.
Menurut Burhanuddin, saat ini ada indikasi partai oposisi seperti Partai Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS mulai cair menerima ajakan Jokowi.
"Upaya dari Pak Jokowi untuk merangkul partai-partai oposisi tapi disaat yang sama banyak partai oposisi yang tergiur untuk masuk kedalam kabinet pemerintahan."
"Kalau ini terjadi ini akan mematikan semangat demokratik dan check and balances. Ini yang harus kita waspadai," kata Burhanuddin Muhtadi saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (1/7/2019).
Baca: Tetap Ditolak Wanita Pujaan Hati Meski Sudah Kurus, Ahmad Zikri Akui Tak Menyesal Jalani Diet Ketat
Baca: Pengalaman Berbelanja Menggunakan Virtual Reality untuk Konsumen Energizer
Baca: Usia Baru 7 Tahun, Bocah di Karawang Ini Bobotnya 97 Kg, Sehari Makan 7 Kali, Belum Termasuk Baso
Burhanuddin pun mengatakan, demokrasi yang sebenarnya yakni koalisi pemerintah yang stabil, pemerintah yang efisien dan efektif tapi disaat bersama partai oposisi yang digdaya dan bertenaga itu dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Lebih lanjut, ia menyebut, jika semua partai termasuk yang kalah dalam Pilpres kemudian beramai-ramai masuk ke dalam pemerintahan, dikhawatirkan satu pilar demokrasi yakni oposisi akan tumbang.
"Saya minta kepada presiden maupun parpol pendukung Prabowo untuk tidak ramai-ramai masuk ke dalam pemerintahan karena dalam demokrasi narasi di pemilu itu harus ditranslasikan pasca pemilu," ungkapnya.
"Artinya setelah pemilu selesai lalu narasinya berhenti. Ini yang terjadi kan tidak yang terjadi seolah-olah narasi kampanye di waktu pemilu terputus dengan apa yang dilakukan partai pasca Pemilu," ujarnya.