Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengaku kaget dengan putusan MA yang mengabulkan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung.
Mahkamah Agung (MA) melepaskan terdakwa kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung dalam putusan kasasi.
Laode menyebut putusan hakim MA tersebut sebagai hal yang 'aneh bin ajaib'.
"Namun demikian KPK merasa kaget karena putusan ini ‘aneh bin ajaib’ karena bertentangan dengan putusan hakim PN (Pengadilan Negeri) dan PT (Pengadilan Tinggi)," ujar Laode kepada pewarta, Selasa (9/7/2019).
Baca: Mahkamah Konstitusi: Sengketa Pileg 2019 Didominasi Dugaan Pengurangan dan Penggelembungan Suara
Baca: Ada 6 Napi Pria Berprilaku Seperti Wanita di Lapas di Bandung, Ini Yang Dilakukan Petugas
Baca: Masinton : PDI Perjuangan Tidak Latah Seperti Partai Lain Ajukan Calon Menteri
Dalam amar putusan MA ini, terdapat dissenting opinion/perbedaan pendapat antar hakim.
Ketua Majelis Hakim Salman Luthan sepakat dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Namun, Anggota Hakim 1 Syamsul Rakan Chaniago memandang perbuatan terdakwa Syafruddiin merupakan perbuatan hukum perdata.
Sementara itu, anggota Hakim 2 Mohamad Askin memandang perbuatan terdakwa Syafruddiin merupakan perbuatan hukum administrasi.
Baca: Tak Mengaku Pacaran, Shawn Mendes & Camila Cabello Malah Terlihat Bergandengan Tangan dan Berpelukan
"Ketiga hakim kasasi berpendapat bahwa Syafruddin Arsyad Tumenggung dianggap terbukti melakukan perbuatan sebagai mana didakwakan kepadanya, tapi para hakim MA berbeda pendapat bahwa perbuatan terdakwa," jelas Laode.
"Ketiga pendapat yang berbeda seperti ini mungkin baru kali ini terjadi," imbuhnya.
Amar putusan
ahkamah Agung (MA) melepaskan Syafruddin Arsyad Temenggung dari jerat hukum terkait kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).
Dalam vonis kasasi yang diputus MA, Selasa (9/7/2019), Syafruddin divonis bebas.
Ia dinilai tidak terbukti melakukan korupsi dalam kasus penerbitan SKL BLBI terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
MA menilai perbuatan Syafruddin tersebut bukan pidana.
Baca: Jelang Persija Jakarta vs Persib Bandung, di Liga 1 2019, Robert Rene Alberts Bertekad Bangkit
Baca: Diwacanakan Jadi Bakal Calon Gubernur Sumbar, Ini Kata Sandiaga Uno
Baca: Tumbuhnya Fenomena Begpacker, Kebijakan Bebas Visa Perlu Dikaji Ulang?
"Menyatakan terdakwa terbukti sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu bukan suatu tindak pidana," ujar Kabiro Hukum dan Humas MA, Abdullah, saat membacakan amar putusan majelis hakim di Gedung MA.
Berikut amar putusan lengkapnya:
Mengadili:
Mengabulkan kasasi pemohon kasasi, terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung.
Membatalkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI pada 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta pusat no 39 / pidsus/TPK/2018/PN JKT PST tanggal 24 September 2018.
Mengadili sendiri:
1. Menyatakan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
2. Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum.
3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya
4. Memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan.
5. Menetapkan barang bukti berupa :
- Nomor 746 berupa 3 buah buku paspor atas nama Syafruddin Arsyad Tumenggung, dikembalikan kepada terdakwa
- Nomor 786 berupa satu handphone Samsung warna gold, model SM G925F, S/N RR8G400QS6F, IMEI: 359667064080503 beserta sim card Indosat Oredoo dengan nomor kode 6201 3000 2246 16358 U, atas nama Herman Kartadinata.
Selainnya, barang bukti berupa nomor 1 sampai 745, nomor 747 sampai 767, dan nomor 769 sampai dengan nomor 776, selengkapnya sebagaimana dalam amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat no 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST tanggal 24 September 2018.
6. Membebankan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan dan pada tingkat kasasi pada negara.
Demikian amar putusan perkara atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung yang telah diputus majelis hakim pada hari ini.
Kasus ini bermula saat BDNI milik Sjamsul Nursalim mendapat BLBI sebesar Rp 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas.
Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
Baca: Gagal SBMPTN 2019? Berikut Jadwal Lengkap Ujian Mandiri PTN di Pulau Jawa, Segera Daftar!
Namun, BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut.
BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
Untuk menyelesaikan persoalan hukum tersebut, BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Utang itu ternyata dijamin dua perusahaan yang juga milik Sjamsul, PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Sjamsul menjaminkan hal tersebut sebagai piutang lancar, namun belakangan diketahui bahwa piutang itu merupakan kredit macet.
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan Sjamsul Nursalim.
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp220 miliar.
Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp4,58 triliun belum dibayarkan.
Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
Perbuatan Syafruddin dinilai membuat Sjamsul mendapat keuntungan sebesar Rp4,58 triliun.
Hal tersebut yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.