TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya, mengapresiasi penurunan kemiskinan di era Jokowi sambil membandingkan dengan periode sebelumnya.
Pada 2009 yang merupakan tahun pertama SBY periode II, kemiskinan hanya disurvei setahun sekali pada Maret, namun data September 2014 dapat diestimasi dari data kemiskinan Maret 2014 dan 2015.
Ditemukan bahwa pada 4,5 tahun SBY jilid 2 tersebut terjadi penurunan kemiskinan dari 13,74 persen ke 11,25 persen alias 2,49 persen yang berarti 1,6x lipat-nya pencapaian Jokowi Jilid 1.
“RPJMN 2015-2019 yang disusun pemerintah Jokowi di mana tertulis tingkat kemiskinan ditargetkan turun ke 7-8 persen di 2019 alias penurunan kemiskinan sebesar 2,96-3,96 persen. Dengan mengambil batas atas target di 8 persen dan masih ada waktu 6 bulan lagi sampai data September 2019 keluar, pengentasan kemiskinan selama 4,5 tahun di Jokowi jilid 1 hanya tercapai 52,4 persen dari target,” kata Berly, Selasa (16/7/2019).
Baca: DPR Bahas Surat Pertimbangan Amnesti Baiq Nuril Usai Paripurna
Dosen FEB-UI tersebut memandang perlu sebuah terobosan karena menurunkan kemiskinan satu digit itu lebih sulit ketimbang belasan persen.
“Imbauan supaya pemerintah mengambil pelajaran dari rendahnya pencapaian pengentasan kemiskinan selama 2014-2019 supaya penyusunan target kemiskinan di RPJMN 2019-2024 dilakukan dengan hati-hati,” paparnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data yang menunjukkan bahwa pada Maret 2019 terdapat 9,41 persen (25,14 juta orang) yang masih berada dibawah garis kemiskinan absolut.
Pada September 2014, tepat sebulan sebelum Jokowi dilantik menjadi presiden, tingkat kemiskinan adalah 10,96 persen yang berarti dalam 4,5 tahun masa kepemimpinan beliau terjadi penurunan kemiskinan absolut sebesar 1,55 Persen.
Kekinian tercatat masih delapan provinsi dengan tingkat kemiskinan absolut melebihi 1,5x kemiskinan nasional alias 14,12 persen di antaranya Aceh (15,3 persen), Bengkulu (15,2 persen), NTB (14,6 persen), NTT (21,1 persen), Gorontalo (15,5 persen), Maluku (17,7 persen), Papua (22,2 persen) dan Papua Barat (27,5 persen).