Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum DPD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk perkara nomor 03-18/PHPU-DPD/XVII/2019, Kamis (18/7).
Agenda sidang yakni mendengar jawaban Termohon (KPU), pihak terkait dan Bawaslu.
Pemohon adalah seorang calon anggota DPD NTB Farouk Muhammad yang menggugat calon lainnya nomor urut 26, Evi Apita Maya.
Evi digugat oleh Farouk karena dituding memanipulasi foto dengan cara mengeditnya secara berlebihan hingga ia terlihat cantik dan menarik.
Foto tersebut dipakai dalam surat suara dan alat peraga kampanye, dan dinilai jadi salah satu faktor suaranya melejit di NTB.
Sebelum memulai persidangan, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyebut bahwa perkara dan berita-berita soal kasus Evi begitu menarik perhatiannya.
"Berita bu Evi ini menarik sekali, saya pun dikutip keliru," ucap Palguna di ruang sidang panel III, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2019).
Masuk dalam agenda pembacaan jawaban Termohon, Kuasa Hukum KPU Rio Rachmat Effendi menjelaskan dalam eksepsinya, permohonan yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan dalil pokok permohonan.
Sebab dalil Pemohon menyangkut dugaan pelanggaran administrasi dan pelanggaran proses Pemilu. Dan bukan berhubungan dengan hasil perolehan suara Pemilu DPD.
Padahal dalam ketentuan Pasal 5 PMK Nomor 3 Tahun 2018, objek dalam perkara PHPU anggota DPD adalah keputusan KPU tentang penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang mempengaruhi terpilihnya Pemohon.
"Dalil Pemohon bertentangan dengan dalil pokok permohonan. Permohonan harus menguraikan pokok permohonan yang jelas," tutur Rio dalam persidangan.
Terhadap dalil Pemohon soal editan pasfoto berlebihan, yang diduga merupakan foto lama lebih dari enam bulan sebelum pendaftaran atau setidak-tidaknya foto editan yang melampaui batas kewajaran.
KPU dalam jawabannya menolak dalil Pemohon di dalam perbaikan permohonan, karena Termohon telah melakukan mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
KPU NTB pada tanggal 11 Juli 2018 telah menerima pendaftaran atas nama Evi Apita Maya. Salah satu dokumen yang diterima ialah pasfoto ukuran 4x6 sebanyak 2 lembar.
Setelah memvalidasi dokumen daftar calon sementara (DCS), pada tanggal 30 Agustus 2018, KPU melemparkan dokumen-dokumen tersebut ke publik untuk mendapatkan masukan dan tanggapan terhadap peserta Pemilu DPD NTB.
Namun, mereka tak mendapat satupun keberatan, sanggahan atau sejenisnya dari publik. Apalagi hal yang menyangkut pasfoto calon anggota DPD nomor urut 26 atas nama Evi Apita Maya.
"Tidak ada satupun tanggapan dan masukan yang diterima KPU NTB. Apalagi terkait foto nomor urut 26," ungkap Rio.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner KPU RI Ilham Saputra mengatakan foto peserta Pemilu yang dipilih untuk dipakai dalam alat peraga kampanye ataupun surat suara, sepenuhnya adalah kewenangan peserta Pemilu yang bersangkutan.
Sebab tak ada ketentuan yang mewajibkan pilihan pasfoto dari peserta Pemilu harus disetujui oleh peserta Pemilu lainnya.
Hal itu dikatakan Ilham saat menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang sengketa hasil Pemilu DPD NTB, yang menyoal pasfoto editan untuk kepentingan Pemilu.
"Antar calon, tidak. Karena ini (pemilihan foto) adalah kewenangan dari masing-masing," kata Ilham dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2019).
Kata Ilham, pasfoto yang dipilih peserta Pemilu hanya perlu mendapat persetujuan dari KPU selaku penyelenggara.
KPU juga menjelaskan pihaknya sudah memberikan kesempatan pada masing-masing liaison officer (LO) peserta Pemilu agar memastikan foto yang dipilih sudah sesuai pilihan mereka.
Hal ini dilakukan guna menghindari keberatan-keberatan dari peserta yang bersangkutan ketika surat suara sudah dicetak.
"Kita berikan kesempatan kepada masing-masing liaison officer (LO) untuk memastikan bahwa benar fotonya seperti ini. Jadi agar kemudian tidak ada keberatan-keberatan lain ketika surat suara sudah dicetak," ungkapnya.