TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hingga 22 Juli 2019, sebanyak 2.183 unit izin kapal perikanan di atas 30 GT belum melakukan perpanjangan izin penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan di Indonesia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) mengungkapkan 2.183 unit izin kapal perikanan tersebut telah berakhir masa berlakunya, namun hingga kini belum melakukan perpanjangan izin penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan.
Dari jumlah tersebut, terdapat 410 unit kapal yang izinnya sudah berakhir antara 1 hingga 6 bulan, 496 unit kapal masa berlakunya berakhir 6 sampai 12 bulan, 383 unit kapal izinnya berakhir 12-24 bulan, dan 894 unit kapal izinnya telah kedaluwarsa bahkan lebih dari 2 tahun.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Zulficar Mochtar menduga bahwa sebagian besar dari kapal tersebut masih melaut dengan sejumlah modus yang perlu diantisipasi.
Seperti disampaikan Lilly Aprilya Pregiwati, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri dalam rilisnya kepada Tribunnews, Kamis (25/7/2019).
"Padahal kalau mereka melaut tanpa izin atau menggunakan izin kapal lain atau pun surat keterangan, tentu melanggar hukum sehingga perlu kita benahi," ujarnya.
Menurut Zulficar, jika kapal-kapal tersebut melaut tanpa izin maka dapat digolongkan sebagai praktik IUUF yang juga menyebabkan potensi kehilangan pendapatan yang besar bagi negara.
"Bayangkan jika 2.183 unit kapal perikanan yang izinnya sudah expired tersebut tetap melaut, maka akan berpotensi menimbulkan kerugian negara dari total 156.050 GT setara dengan kehilangan pendapatan negara baru dari PNBP saja di atas Rp 137 miliar. Belum termasuk perhitungan unreported total produksi, pajak perikanan, dan lainnya," kata dia.
Zulficar menyampaikan bahwa pelaku usaha tidak perlu menunggu izin habis untuk melakukan permohonan perpanjangan.
Tak Perlu Tunggu Izin Berakhir
Pelaku usaha dapat mengajukan permohonan perpanjangan izin sejak 3 bulan sebelum surat izin penangkapan ikan atau surat izin kapal pengangkut ikan (SIPI/SIKPI) berakhir dengan ketentuan di tahun kedua harus tetap melakukan cek fisik.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 dan perubahannya tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Untuk itu, ia mendorong kepada semua pemilik kapal yang belum memperpanjang izinnya untuk segera melakukan perpanjangan sehingga KKP bisa melakukan pembenahan secara lebih optimal.
"Jadi, bagi semua pemilik kapal yang belum memperpanjang izin ini wajib melaporkan posisi kapal dan statusnya. Dan, bagi pemilik kapal yang izinnya sudah expired kurang dari 2 tahun agar segera melakukan proses perizinan. Saya kira ini akan kita respon dan tim di KKP siap untuk membantu hal tersebut," ucap Zulficar.
Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 dan perubahannya tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP-NRI dan/atau Laut Lepas jo. Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor: 24/PER-DJPT/2017 tentang Mekanisme dan Prosedur Penerapan Sanksi Administratif Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau Laut Lepas, maka bagi kapal yang belum diperpanjang izinnya (expired) selama > 2 tahun dapat dilakukan pengurangan alokasi izin hingga pencabutan SIUP.
Fasilitas E-Service Perizinan
Lebih lanjut Zulficar memaparkan, para pelaku usaha dapat dengan mudah memanfaatkan sistem e-service perikanan tangkap yang telah tersedia untuk mengajukan permohonan SIPI/SIKPI.
Secara online, proses dan alur dokumen perizinan dapat terpantau real time di website perizinan KKP sehingga pelaku usaha dapat mengaksesnya di mana pun dan kapan pun.
"Aplikasi ini membantu para pelaku usaha untuk mengakses perizinan perikanan tangkap. Semuanya bisa dipantau secara online," jelas Zulficar.
Saat ini, jumlah izin kapal perikanan yang perizinannya sudah diterbitkan sebanyak 5.130 dokumen (SIPI/SIKPI).
Sementara dalam proses pencetakan blangko sebanyak 45 dokumen, dan dalam proses pelunasan PHP sebanyak 70 dokumen, perbaikan LKU/LKP sebanyak 15 dokumen, serta dalam proses pendok dan verfikasi sebanyak 123 dokumen.
"Singkatnya, hampir seluruh izin yang diajukan ke KKP sudah tuntas diproses. Jadi, proses perizinan SIPI/SIKPI sudah sangat signifikan," terang Zulficar.
Zulficar mengatakan, mengurus perizinan itu mudah asalkan dokumen pendukungnya lengkap dan benar tanpa manipulasi.
Kualitas logbook penangkapan ikan, laporan kegiatan usaha/laporan kegiatan penangkapan ikan (LKU/LKP) harus baik dengan menyajikan data yang akurat.
Perbaikan Tata Kelola Perizinan
Zulficar meluruskan bahwa KKP tidak pernah mempersulit proses perizinan. Hanya saja, ditemukan cukup banyak modus pelanggaran yang teridentifikasi.
Di antaranya adalah praktik mark down kapal.
Baca: Tim Pemenangan 02 di Aceh Kecewa Prabowo Bertemu Megawati
Baca: Kongres PDIP akan Bentuk Format Baru ada Ketua Harian. Jabatan untuk Puan dan Prananda?
Baca: Megawati dan Prabowo Bertemu, Kehadiran Prananda Jadi Sorotan
Diperkirakan masih ada kurang lebih 10.000 kasus mark down ukuran kapal perikanan di berbagai lokasi yang dilakukan oleh sebagian pelaku usaha saat ini.
Ukuran yang tertera di dokumen kurang dari 30 GT, padahal ukuran aslinya jauh lebih besar.
"Modus ini biasanya digunakan untuk mendapatkan akses BBM bersubsidi, tidak melaporkan produksi dengan benar dan penyelewangan jumlah pajak. Di sisi lainnya, ini mengancam tata kelola perikanan," ujar Zulficar.
Oleh karena itu, KKP lebih berhati-hati mereview proses izin tersebut. Cara ini menjadi upaya untuk memperbaiki tata kelola perizinan dari waktu ke waktu.
"Cukup banyak hal-hal yang kita lakukan di KKP, bekerjasama dengan banyak pihak terkait seperti Dirjen PSDKP dan Satgas 115 untuk membantu membenahi tata kelola perikanan," ujarnya.
Dampak dari upaya itu pun sudah mulai dirasakan oleh KKP. Setelah melakukan pengecekan terhadap LKP secara lebih teliti, terdapat selisih kenaikan produksi yang dilaporkan sekitar 1,2 juta ton ikan.
"Jadi dulunya mungkin mereka nangkap 300 atau 500 ton, yang dilaporkan 30 ton. Ada juga yang nangkap 1.000 ton, laporannya hanya di bawah 50 atau 100 ton. Nah, ini kita verifikasi semua hingga akhirnya terjadi pengingkatan laporan itu," ujar Zulficar.
Sebagai gambaran, selama review perizinan KKP sudah menemukan jika selisih laporan produksi sebesar 1,2 juta ton ikan yang bila diasumsikan dengan harga rata-rata ikan sebesar Rp 30.000, setara dengan Rp 36 triliun yang selama ini tidak dilaporkan (unreported).
Tentu saja, dampaknya adalah peningkatan potensi pajak yang signifikan bagi negara.