TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Wakil Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi PPP menegaskan tidak ada larangan bagi mantan narapidana termasuk kasus korupsi maju dalam Pilkada.
Ia pun mengutip UU 10/2016 tentang Pilkada. UU 10/2016 tentang Pilkada pasal 7 huruf (g) menyebutkan "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana".
Itu berarti dia tegaskan, selama hak politik tidak dicabut oleh pengadilan, maka tokoh tersebut tetap punya hak untuk dicalonkan menjadi Kepala Daerah.
"Selama hak politik tidak dicabut oleh pengadilan, maka yang bersangkutan tetap punya hak. Dulu ada batasan jeda 5 tahun tapi oleh MK dibatalkan," tegas anggota Komisi II DPR RI ini kepada Tribunnews.com, Senin (29/7/2019).
Artinya memang tak ada larangan bagi mantan napi maju pilkada asalkan jujur mengemukakan kepada publik. Jadi basisnya UU.
Apalagi tegas dia, faktanya banyak mantan napi terpilih dalam pilkada dan tidak bermasalah.
Artinya hanya kasuistik terjadi terhadap Bupati Kudus Muhammad Tamzil.
Baca: Terjerat Kasus Korupsi ke-3 Kalinya, Bupati Kudus Kini Terancam Hukuman Mati
Selain itu dalam pilkada ada faktor yang harus dipertimbangkan, kapasitas, integritas dan elektabilitas.
"Itu hal yang perlu ditelusuri oleh KPK apakah penyebabnya? Apakah karena cost politik yang tinggi? Kalau itu harus ada perbaikan bahkan perubahan sistem pilkada," tegasnya.
KPK Imbau Parpol Jangan Calonkan Mantan Koruptor Jadi Kepala Daerah
Penangkapan Bupati Kudus Muhammad Tamzil membuat Komisi Pemberantasan Korupsi memberi peringatan kepada partai politik untuk tak memilih bekas terpidana korupsi jadi calon kepala daerah.
Tamzil sebelumnya ditangkap KPK dalam kasus dugaan suap jual beli jabatan.
"KPK kembali mengingatkan agar pada Pilkada 2020, partai politik tidak lagi mengusung calon kepala daerah dengan rekam jejak yang buruk," kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan di kantornya, Sabtu, 27 Juli 2019.
KPK menangkap Tamzil dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Jumat, 26 Juli 2019. KPK menyangka politikus Hanura itu menerima Rp 250 juta dari pelaksana tugas Sekretaris Daerah Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Kudus, Akhmad Sofyan.
Baca: BREAKING NEWS: Penemuan Mayat Pria Paruh Baya di Basement Miracle Hotel
Suap yang diberikan melalui staf khususnya, Agus Soeranto itu diduga agar Sofyan dapat menduduki jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Sebelumnya, Tamzil juga pernah masuk penjara karena kasus korupsi. Saat menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008, Tamsil melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus anggaran 2004.
Pada 2014, Kejaksaan Negeri Kudus menyidik kasus ini. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang memvonis Tamzil 22 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan pada Februari 2015.
Basaria meminta kasus Tamzil menjadi pelajaran bagi parpol dan masyarakat untuk menelusuri rekam jejak calon kepala daerah. Dia minta jangan pernah memberikan kesempatan bagi koruptor untuk dipilih.
"Jangan pernah lagi," kata dia.