Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK masih pada pendiriannya bahwa mantan Kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Syafruddin Temenggung telah melakukan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam kasus BLBI.
Hal itu berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan kasus Syafruddin adalah ranah perdata atau administrasi negara yang membuat mengabulkan kasasi Syafruddin.
Baca: Periksa Rizal Ramli Dalam Kasus BLBI, Empat Hal Ini yang Didalami KPK
Hal itu disampaikan Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK, Febri Diansyah dalam diskusi “Vonis Bebas Syafruddin Siapa Salah? KPK atau MA?” pada Rabu, (31/7/2019) di Hotel JS Luwansa, Jalan HR Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan.
“Ada aspek kesengajaan dengan melihat mens rea atau sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana dalam penerbitan SKL itu sehingga bisa disebut tindak pidana,” ungkap Febri dalam paparannya.
Oleh karena keyakinannya itu, KPK akan terus berupaya menelusuri kasus tersebut demi mengembalikan kerugian negara.
Yaitu dengan melanjutkan penyidikan Sjamsul Nursalim (SJN) dan Ijtih Nursalim (IJN).
Baca: KPK Periksa Rizal Ramli Sebagai Saksi Korupsi BLBI
“KPK yakin putusan MA tak boleh menghentikan upaya mengembalikan Rp 4,58 triliun kembali ke negara. Penyidikan SJN dan IJN akan dilanjutkan karena dalam diskusi ini jelas kasus tersebut bukan perdata apalagi administrasi negara,” pungkasnya.
Sebelum putusan yang membebaskan Syafruddin dari berbagai tuntutan hukum tersebut, majelis hakim MA sempat mengalami perbedaan pendapat dalam memutus perkara.
KPK tak surut
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung tidak akan menyurutkan pihaknya mengembalikan kerugian negara Rp 4,58 triliun.
Syafrudin Arsyad Temenggung sebelumnya bebas dari jerat hukum setelah MA mengabulkan kasasinya terkait kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.
"KPK meyakini putusan kasasi Mahkamah Agung kemarin tidak boleh menghilangkan harapan kita untuk mengembalikan Rp 4,58 triliun itu kembali ke negara, karena itu hak negara dan hak kita semua untuk mendapatkannya," kata juru bicara KPK Febri Diansyah dalam Seminar bertema Vonis Bebas Syafruddin Siapa Salah? KPK atau MA?, Rabu (31/7/2019) di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan.
Baca: Ketua DPR: Indonesia-Amerika Serikat Perlu Terus Promosikan Nilai-Nilai Demokrasi-Pluralisme
Baca: Profil Lengkap Dimas Anggara, Simak Perjalanan Karier dan Kisah Asmara dengan Nadine Chandrawinata
Baca: KPK: Empat Tersangka Baru Megakorupsi e-KTP Berasal dari Birokrat dan Swasta
Untuk itu, menurut Febri KPK akan terus melanjutkan penyidikan perkara tersebut terhadap dua orang yang kini sudah menyandang status tersangka dalam kasus yang sama yakni Sjamsul Nursalim (SJN) dan Itjih Nursalim (ITN).
"Karena itulah penyidikan untuk SJN dan ITN tetap akan kita lakukan, jika ada upaya hukum lain, KPK akan menghadapinya," kata Febri.
Pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Terkait upaya pengembalian kerugian negara, Guru besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gajah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej, menilai secara teori putusan MA terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) telah selesai dari aspek pidananya.
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada teman-teman KPK dan menciutkan semangat pemberantasan korupsi, bagi saya secara teoretik putusan Kasasi atas SAT secara pidana close the case. Karena sudah putusan lepas. Artinya dia tidak dijatuhi hukuman pidana karena dia sudah putusan Kasasi," kata Eddy.
Meski begitu, Eddy mengatakan KPK masih bisa melakukan upaya gugatan perdata untuk berupaya mengembalikan kerugian negara sebanyak Rp 4,58 triliun.
Baca: KPK: Empat Tersangka Baru Megakorupsi e-KTP Berasal dari Birokrat dan Swasta
"Tetapi apakah apa yang disampaikan Febri (Kabiro Humas KPK) yang saya catat dengan tinta tebal, bagaimana dengan uang Rp 4,5 triliun? Kan UU Korupsi memberi pintu, bahwa apabila ada kerugian negara secara nyata putusan bebas dan putusan lepas tidak menghapuskan gugatan perdata. Silakan saja melakukan gugatan perdata. Karena ada kerugian negara secara nyata," kata Eddy.
Sebelumnya, Eddy menjelaskan bahwa dasar dari penilaiannya tersebut bukanlah putusan lengkap dari Mahkamah Agung terkait kasasi SAT.
Hal itu karena ia belum menerima dan membaca putusan itu secara lengkap.
Ia pun mengaku enggan mengomentari putusan MA terhadap SAT tersebut.
"Syarat untuk melakukan suatu anotasi atau eksaminasi kita harus membaca dulu dengan teliti mengenai apa isu putusan dan yang paling penting adalah mencermati apa pertimbangan Majelis sehingga sampai pada putusan yang demikian," kata Eddy.