Dalam program ini Badan Karantina Pertanian melakukan kunjungan langsung ke eksportir, dari tingkat budidaya hingga handling.
Dengan demikian mempermudah pelaku usaha dalam menangani produk yang akan diekspor.
“Contohnya saat di Jeneponto ada markisa bagus sekali, bahkan mengalahkan markisa Medan. Tapi ada hama lalat buah. Kita bantu penanganan dengan bimbingan BPP dan BPTP, sedangkan Karantina Pertanian bantu handlingnya,” tuturnya.
Ke empat, program I-Mace. Dengan I-Mace, bisa diketahui data sentra komoditas pertanian dan berpotensi ekspor.
Bahkan di I-Mace juga terdapat data produk pertanian yang diekspor dan Negara tujuannya.
“Harapan kita dengan I-Mace bisa digunakan sebagai bahan kebijakan gubernur dan bupati untuk membangun pertanian di daerahnya. Misalnya dengan membangun kawasan sentra produksi pertanian yang berpotensi ekspor,” kata Ali Jamil.
Terboisan kelima yakni elektornik sertifikat (E-Cert). Dengan E-Cert, menurut Ali Jamil, produk pertanian yang diekspor lebih terjamin.
Jadi negara tujuan ekspor akan menerima sertifikasi secara online, kemudian langsung diperiksa dan diteliti.
“Setelah semua Ok, barang bisa jalan. Jadi barang tidak akan ditolak di negara tujuan,” ujarnya.
Berbeda dengan sebelumnya, eksportir akan membawa berkas/sertifikat masih dalam hardcopy bersamaan dengan produknya.
Namun jika kemudian ada ‘masalah’ terhadap produk yang dikirim, justru akan merugikan eksportir.
“E-Cert ini merupakan bentuk penjaminan sesungguhnya, karena produk sudah pasti bisa diterima di luar negeri,” ujarnya.
Saat ini sudah ada empat negara yang menerapkan E-Cert yakni, Belanda, Selandia Baru, Australia dan Vietnam.
Namun ke depan, Ali Jamil berharap akan bisa bekerjasama dengan negara lain, terutama Uni Eropa.