Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dikemas dalam perubahan amandemen UUD 1945 dikhawatirkan berdampak pada penerapan sistem demokrasi Indonesia.
Salah satu yang dikhawatirkan adalah pada tahapan pesta demokrasinya.
Di mana pemilihan presiden ke depan tak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan menjadi kewenangan MPR.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif, Veri Junaidi menyebut momentum Pemilu 2024 bakal menjadi ajang tokoh-tokoh baru bermunculan untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
Baca: Jaksa Dakwa Mantan Dirut Krakatau Steel Terima Uang Rp 156 Juta
Baca: Penuh Haru, Momen Bahagia Sarwendah Pertama Kali Dipeluk & Dipanggil Bunda oleh Betrand Peto
Baca: Caleg Pekalongan Ini Diarak ke Gedung DPRD Usai Sempat Ingin Jual Ginjal Demi Lunasi Utang Kampanye
"Ini endingnya justru pada Pemilu dipilih tidak langsung. Karena apa, 2024 momen baik bagi bangsa untuk mendapatkan tokoh-tokoh politik baru, muda. Sudah berapa periode kita dihadirkan pada tokoh politik yang 4L lo lagi, lo lagi," kata Veri dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).
Ia mengira, ada maksud terselubung terhadap wacana perubahan amandemen UUD 1945.
Salah satunya demi menghambat munculnya tokoh baru untuk maju sebagai calon presiden.
Veri yakin para elite politik sebenarnya paham bahwa tahun 2024 dipastikan muncul sosok baru nan muda.
Baca: Ini Tujuh Fakta-fakta Video Vina Garut, Mulai dari Sosok Pemeran Wanita Hingga Praktik Jual Beli
Tapi bukannya bersiap menyambut sosok tersebut, mereka justru melempar wacana mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi yang punya kewenangan memilih presiden, tanpa melibatkan rakyatnya.
"Soal wacana pemilihan presiden tidak langsung dalam agenda terselubung amandemen konstitusi. Ketika muncul gagasan ide baik akan ada tokoh baru udara segar dalam perpolitikan kita, tapi justru elite politik itu berpikirnya presiden di pilih MPR, karena MPR sebagai lembaga tertinggi," kata dia.
Usulan GBHN dicurigai
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berupaya menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam UUD 1945.
Gagasan itu dikemas atas nama amandemen UUD 1945 yang menumpang pada proses politik pengisian jabatan Ketua MPR periode 2019-2024.
Baca: Wacana Penghidupan Kembali GBHN, Mendagri: Presiden Tetap Dipilih Rakyat
PDI Perjuangan menilai penting kehadiran GBHN sebagai landasan berbangsa dan bernegara yang berangkat dari penjabaran ideologi Pancasila, mengabdi pada tujuan dan memuat hal pokok, berupa 'guiding principles'.
Namun pembentukan GBHN yang ngotot dihidupkan PDI Perjuangan, dikritisi oleh Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti.
Dia heran mengapa sepulang dari Kongres ke-5 di Bali, PDI Perjuangan ujug-ujug melempar wacana tersebut.
"Sekarang kan tiba-tiba pulang dari Bali tau-tau ada agenda ini. Ini maunya siapa? Rakyat apa segelintir orang?" terang Bivitri dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).
Tidak salah juga bila pertanyaan itu muncul. Karena ia khawatir, pihak pencetus agenda ini tak lain adalah para elite politik yang punya maksud terselubung, dikemas lewat rencana amandemen UUD 1945.
"Enggak salah kalau kita bertanya, jangan-jangan ada agenda lain di balik ini," sebut dia.
Menurut Bivitri, jika pokok persoalannya adalah seputar haluan negara, maka tidak harus dengan GBHN. Sebab ada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dibuat dan dibahas bersama DPR dan Presiden pada tahun 2007, berbentuk Undang-Undang.
Bivitri lalu membandingkan perihal isi dan proses yang ada pada GBHN dengan RPJP.
Soal isi, kata-kata pada produk GBHN terdahulu dianggap terlalu mengawang-ngawang. Hal ini berbeda dengan RPJP yang punya indikator keberhasilan, serta target-target pencapaian.
Baca: Bamsoet Ingin Ada Kajian Lebih Dalam Sebelum Hidupkan Kembali GBHN
Sementara mengenai proses, model RPJP ia sebut lebih partisipatif karena memiliki tahapan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) di dalamnya. Tapi GBHN hanya MPR yang punya kewenangan menyusunnya.
"Dari proses, dengan segala kekurangan, model RPJP lebih partisipatif, ada Musrembang. Paling tidak, ada proses dibawahnya. Sementara GBHN itu dibuanya oleh MPR aja," ungkap Bivitri.
Jusuf Kalla sebut jangan sampai ubah sistem
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyambut baik wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Namun Jusuf Kalla memberikan catatan, jika wacana itu serius diterapkan, tidak mengubah sistem ketatanegaraan yang telah ada.
"Kalau hanya GBHN secara prinsip itu bagus. Asal jangan mengubah seluruh sistem lagi," ujar Jusuf Kalla di kantor Wapres RI, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019).
Bagi Jusuf Kalla secara prinsip dengan adanya GBHN terdapat satu pedoman pembangunan yang berkesinambungan dalam jangka panjang.
Baca: Menara Seluler Ambruk Timpa Sekolah Dasar, 8 Siswa Alami Luka
Baca: Walikota Solo: Gibran Maju Walikota? Belajar Dulu! | Putra Jokowi Masuk Bursa Walikota - AIMAN (3)
Baca: Berenang di Gua, Supermodel Heidi Klum Didenda Rp 95 Juta
Meski di sisi lain, pemerintah sendiri kini memiliki rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).
RPJMN disusun presiden dari hasil kampanye, sementara GBHN oleh MPR.
Sehingga, menurut dia tidak menutup kemungkinan jika GBHN dan RPJMN dikolaborasikan.
"Ya program bersama. Kita setuju ada kesepakatan bersama. Jadi terbalik. Nanti presiden, dalam kampanye; Saya bisa menjalankan GBHN dengan cara begini, begini. Sekarang terserah masyarakat. Kesepakatan dulu baru terpilih, atau janji kampanye jadi rencana," kata Jusuf Kalla.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menegaskan Indonesia memerlukan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) agar pembangunan tidak terputus dan negara secara luas harus memiliki rencana jangka panjang.
Baca: Jelang Persib vs Borneo FC Liga 1 2019, Gelandang Maung Bandung Ingin Rusak Rekor Musuh
Baca: TERBONGKAR Pabrik Tambang Merkuri Ilegal Berkedok Gudang di Sidoarjo, Hasilnya Dipasok ke Luar Jawa
Ditemui di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (12/8/2019) Tjahjo menjelaskan perencanaan jangka panjang sudah dibuat sejak pemerintahan Presiden ke-1 RI Sukarno hingga Presiden ke-2 RI Soeharto.
"Jangan sampai terputus kesinambungan dan perencanaan jangka panjang, ya perlu GBHN," ungkap Tjahjo.
Tjahjo menjelaskan GBHN berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Menurutnya, rencana pembangunan secara umum nanti bakal dijabarkan dalam GBHN.
Respons Ketua DPR
Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai perlu dilakukan kajian lebih dalam, terkait wacana penghidupan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Jadi apakah GBNH ini perlu atau tidak, ini harus kita kaji melibatkan seluruh rakyat, akademisi juga karena begitu kita putuskan maka akan mengikat puluhan tahun ke depan," ucap Bamsoet di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Menurut Bamsoet, kajian yang melibatkan seluruh rakyat dan sejumlah pemangku kepentingan, nantinya akan melihat dinamika ekonomi dan politik secara global yang berubah sangat cepat, berbeda dengan era 20 tahun atau 50 tahun yang lalu.
"Dinamika ekonomi politik global itu sangat cepat, apakah ini masih tepat kita menggunakan platform GBHN? Karena dunia setiap hari berubah," ucap Bamsoet.
Baca: Bamsoet Usul Presiden Dipilih MPR, Pengamat: Itu Sama Saja Merampas Hak Demokrasi Publik
Baca: Anak Fairuz A Rafiq Dibully Kasus Ikan Asin, Barbie Kumalsari Ogah Kasih Tahu Galih Ginanjar
"Ini akan terjawab kalau kita melakukan kajian-kajian dengan melibatkan seluruh rakyat, stakholder," sambungnya.
Namun Bamsoet akan mendukungnya jika menang nantinya masyarakat menginginkan penghidupan GBHN kembali. Tetapi, jika tidak direstui masyarakat karena sudah tidak sesuai kondisi saat ini, maka parlemen tidak mendukung.
"Sehingga, sebaiknya pendalaman dan kajian soal GBHN. Meskipun suara-suara makin nyaring sekarang ini walau makin nyaring bahwa dunia ini berubah," papar Bamsoet.