News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Peneliti Harvard-Columbia Sebut Bencana Asap Gambut Berpotensi Mempercepat Kematian di Indonesia

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo menerima perwakilan tim penelitian gabungan dari Harvard University dan Columbia University.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo menerima perwakilan tim penelitian gabungan dari Harvard University dan Columbia University yang telah mempublikasikan kajian mengenai dampak kesehatan bencana kebakaran hutan dan gambut pada negara-negara di Asia.

Kajian yang berjudul “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” telah dipublikasikan pada tanggal 24 Juli 2019 di jurnal internasional Geohealth.

Penelitian ini menelaah kaitan antara pengelolaan hutan dan lahan serta alih fungsi lahan gambut, bencana asap, paparan polutan partikulat PM 2.5 terhadap populasi dan mengihtung dampaknya pada tingkat kesehatan masyarakat.

Menyorot bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, tim gabungan ini mengembangkan modelling yang dapat menghitung dan membandingkan dampak kesehatan pada Indonesia, Singapura dan Malaysia di bawah berbagai skenario.

Baca: Polri Catat Ada 100 Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan dengan 87 Tersangka

Menurut peneliti Harvard University Tina Liu, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi akibat perubahan tata guna dan tutupan lahan, serta adanya kebakaran di lahan gambut yang kaya akan karbon, dan faktor meteorologi (seperti kekeringan yang disebabkan oleh fenomena El Nino).

"Penelitian menemukan, jika pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak berjalan maksimal, dalam jangka panjang, kematian dini yang ditimbulkan dapat mencapai angka 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama periode 2020 hingga 2030. Dari angka tersebut 92 persen kasus kematian dini diperkirakan akan terjadi di wilayah Indonesia, 7 persen di Malaysia, dan 1 persen di Singapura," ungkap Tina Liu.

Kajian mengungkapkan bahwa kebakaran yang terjadi di lahan gambut merupakan jenis kebakaran yang paling sulit untuk dipadamkan. Akibatnya, bencana asap bisa berlangsung berminggu-minggu karena api terus hidup di dalam lahan gambut.

Selain itu kebakaran lahan gambut menimbulkan asap paling pekat penuh dengan partikulat PM 2.5 yang dapat menimbulkan masalah pernafasan, kanker, penyakit kardiovaskuler dan stroke. Bencana asap menyebabkan adanya paparan PM 2.5 yang dapat mempercepat kematian (kematian dini).

Tim peneliti Harvard dan Columbia University merekomendasikan strategi komprehensif untuk mengurangi kebakaran dengan penekanan di lahan gambut.

"Dengan menghentikan kebakaran di seluruh lahan gambut, akan mengurangi 65 persen emisi akibat kebakaran dan menekan angka kematian dini di Indonesia sebesar 65 persen, 73 persen kematian dini di Malaysia dan 70 persen kematian dini di Singapura," ungkap Tina Liu.

Secara internasional, pemulihan dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan di Indonesia menjadi kunci dari mitigasi perubahan iklim. Lahan gambut Indonesia mampu menyimpan karbon sebanyak 57 gigaton atau 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral.

Pasca kebakaran 2015, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk mengkoordinasi restorasi ekosistem gambut di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Dari total target yang dikerjakan BRG sekitar 892.248 hektar, hingga 2018 sudah dilakukan pembasahan awal seluas 679.901 hektar. Dengan demikian capaian di luar wilayah lahan konsesi sepanjang tahun 2016-2018 sudah mencapai 76 persen.

Letjen Doni Monardo yang didampingi Deputy Kesiapsiagaan Lilik Kurniawan, Unsur Pengarah Dr Fuadi Darwis dan Tenaga Ahli Ka BNPB Egy Massadiah, menyambut baik hasil penelitian tersebut.

Menurut Doni, sungguh miris dan menyedihkan, apalagi bagi saudara saudara kita yang merasakan langsung malapetaka asap ini.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini