News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Menyambut Pindahan Ibu Kota Negara

Editor: FX Ismanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

A. Bayu Putra - Balai Pancasila Institute, pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Ramai tanggapan atas keputusan Pak Jokowi memindahkan ibu kota, Pro kontra terjadi hampir di semua lapisan masyarakat.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hujan di sebagian wilayah Ibukota Jakarta bersamaan dengan diumumkannya pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Ramai tanggapan atas keputusan Pak Jokowi memindahkan ibu kota, Pro kontra terjadi hampir di semua lapisan masyarakat. Dari kantor-kantor pusat pemerintahan, group-group media sosial, karyawan swasta, spekulan tanah, pengusaha, pedagang pasar hingga pinggiran kampung nelayan. Ada yang happy ada yang murung. Biasa dalam sebuah kehidupan bersama di satu negara. Namun hujan yang ganjil sempat membuat saya berpikir untuk membaca hal yang tidak biasa dari pindahnya ibukota negara.

Saya pribadi setuju dengan pemindahan ibu kota, selain itu memang sudah bukan sesuatu yang ujug-ujug melainkan sudah digagas, dikaji sejak dari jaman Bung Karno. Menjadi Ibu dari sebuah kota tentu bukan tanpa beban, beban dari kota saja sudah besar bagi suatu wilayah apalagi ibukota yang menjadi induk dari pertemuan kepentingan seluruh kota besar seperti Jakarta tentu sudah bisa dibayangkan seperti apa sesaknya Jakarta jika tidak dikurangi bebannya.

Pemindahan ibu kota dengan pusat kegiatan bisnis sudah banyak dilakukan oleh sejumlah negara. Bukan hal yang terlalu asing lagi.

Akan tetapi alasan saya bukan karena itu, saya mempunyai 2 alasan sendiri kenapa ibu kota harus pindah:

Yang pertama, Indonesia ini didirikan dari ratusan bahkan ribuan kerajaan yg tersebar diseluruh nusantara ini, ada 1 pola tentang istana dan pusat pemerintahan yang hampir sama dalam kerajaan2 di nusantara yaitu : akan selalu berpindah letak istana apabila suksesi terjadi, yang masih bisa dilihat dan digunakan adalah Kasultanan Yogyakarta (Mataram Islam) yakni terjadi ketika Kerajaan Mataram yang beribu kita awalnya dari Kotagede yang kemudian bergeser ke Plered (satu daerah di Bantul yang masih di wilayah DIY) lalu berpindah lagi seperti ke Kartasura dan akhirnya kembali lagi ke pusat Kraton Mataram Yogyakarta saat ini di Kota Yogyakarta. Perpindahan Ibukota Kartasura hingga yang sekarang ini menjadi Kasunanan Surakarta. Termasuk yang Mangkunegaran yang juga memiliki Kratonnya sendiri.

Pertanyaannya kenapa banyak raja tidak mau menempati bekas istana atau ibukota yg sudah dibuat pendahulu bahkan lebih sering adalah ayahnya.
Banyak yang berpendapat itu mengenai keamanan ataupun ego peninggalan yg ingin dibuat raja yang baru. Tetapi saya sampaikan disini bukan berarti mengasosiasikan Pak Jokowi seperti Raja melainkan menyampaikan bahwa ada tradisi para Raja, ada natuur, ada kultur dan sejarah terkait pemindahan ibukota negara atau pusat kerajaan yang juga pasti akan memiliki manfaat jika kita mau menggali dan menumbuh kembangkannya.

Tetapi disini saya ingin mengajak berpikir tentang sebuah kemerdekaan, bahwa dengan memasang bata demi bata untuk jadi sebuah kantor pemerintahan yang baru itu akan memberikan sebuah proses kemerdekaan dan kemandirian, juga
kepercaayan diri untuk menata ke depan dengan lebih penuh rasa merdeka. Merdeka tanpa bayang-bayang masa lalu. Apalagi istana yang sekarang merupakan peninggalan Kolonialis Belanda, saya kok agak deg deg an (cemas) apabila ada tamu delegasi Belanda siapa tau kebetulan mereka anak cucu yg pernah membuat atau tinggal disitu, menanyakan suatu pohon atau ruangan yg dibuat kakeknya dahulu.

Yang kedua, nama yang sekarang cukup aneh Istana Merdeka, ini jaman kerajaan atau negara kok namanya Istana, mungkin sebuah kebetulan sebuah proses akulturasi. Atau barangkali sebuah kebiasan dan kerinduan di dalam alam bawah sadar kita lahir dari persatuan berbagai kerajaan, sehingga semua amin saja dengan kantor kepala negara kita bernama Istana seperti raja.

Jadi pemindahan ibu kota tentu bukan sesuatu yang aneh dan terlalu besar atau untuk dibesar-besarkan dalam konteks budaya masyarakat nusantara karena para moyang kita sudah biasa melakukannya. Meskipun dalam konteks mereka mungkin karena masih mewarisi sedikir watak nomaden. Tetapi jangan salah, nomaden tidan selalu konotasinya negatif, bukankah dalam Islam dikenal masyarakat yang hijrah untuk perbaikan kondisi. Atau Tiongkok yang besar saat ini juga dimulai dengan long march perpindahan di bawah kepemimpinan Mao Tse Tung.

Kepentingan utama sebetulnya lebih banyak di wilayah rohani. Lebih kepada pemikiran merdeka atau memulai sebuah era tanpa bayang-bayang era yang lama dan dengan kepercayaan yang tinggi melangkah ke depan.

Semoga Pak Jokowi dan para petinggi melihat dengan mata batin wilayah sekarang sebuah tempat dengan sinar keemasan yang akan membawa Indonesia tampil gilang gemilang seperti saat terkejutnya Raden Wijaya melihat Hutan Tarik yg begitu bersinar, sehingga menjadikan Balai Manguntur-nya begitu sesak didatangi orang dari seluruh penjuru Asia, atau Balaputra Dewa dan leluhurnya yang menjadikan bata-bata merah mereka menjadikan Sriwijaya sebagai pusat pendidikan agama Budha dalam pendidikan Nalandha yang seluruh sarjana dunia berkumpul belajar disana.

Yang pasti Kutai Kertanegara akan cukup memberikan daya dan spirit persatuan dan akulturasi yang akan berjalan dengan sangat mulus. Kita menyambut perpindahan Ibu Kota kesana dengan keinginan bersatu dan bahagia untuk semua. Hidup Persatuan Indonesia. Hiduplah Indonesia Raya!!!

( Oleh A. Bayu Putra -Balai Pancasila Institute )

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini