TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada tahun 2020, sebanyak 9 (sembilan) provinsi, 224 Kabupaten dan 37 kota di Indonesia akan melaksanakan Pilkada. Pilkada ini memiliki arti strategis bagi masa depan NKRI yang berPancasila menyusul pemilihan presiden yang baru saja berlangsung. Pilkada 2020 ini disinyalir ada keterkaitannya dengan gejolak yang terjadi di KPK di mana para Pimpinan dan Pegawainya disebut-sebut menolak Pansel dan Capim hasil Pansel KPK.
Pilkada tahun 2020 terancam tidak berjalan dengan semestinya, jika Pimpinan KPK dan para pegawai KPK tidak netral dan bahkan diduga akan menggunakan kewenangannya untuk mengalahkan para calon pimpinan daerah yang tidak sesuai dengan ideologi atau warna politiknya. Demikian ditegaskan oleh Pengacara Senior, Petrus Selestinus kepada media, Selasa (03/09/2019) di Jakarta.
Menurut Petrus Selestinus, ada isu utama dalam KPK yakni soal wewenang yang luar biasa dimainkan oleh kelompok yang disebut-sebut sebagai radikal sampai-sampai seorang pimpinan KPK ditolak untuk melihat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bawahannya. Untuk mempertahankan kekuasaan kelompok ini, Pansel yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo kemudian tidak dipercaya karena jauh dari legitimate.
“Mereka tidak sadar bahwa tidak percaya kepada Pansel sama saja dengan tidak percaya kepada penunjuknya yaitu Presiden Joko Widodo. Jika karena tekanan ini dapat medegradasi Pansel, maka mereka akan memainkan bahwa para Capim hasil seleksi Pansel tidak sah dan memenuhi kriteria sebagai pimpinan KPK maka batal pula hasilnya. Jika dua hal ini berjalan, maka mereka mempunyai peluang mempertahankan kekuasaan dan sistim yang berlaku di KPK yang selama ini tidak dapat disentuh oleh publik,” tegas Petrus Selestinus.
Pansel ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo, diurai lebih lanjut oleh Petrus Selestinus, dimaksud untuk menampung para Capim yang dianggap paling memenuhi syarat dalam memimpin KPK ke depan. Setelah Presiden menerima kesepuluh Capim usulan Pansel, mereka akan segera dikirim ke DPR untuk Fit & Proper. Dalam konteks ini, usulan itu tidak berhenti di Presiden Joko Widodo tetapi DPR yang akan memutuskan.
“Protes pegawai KPK itu tidak hanya sekedar protes. Sebagian ada yang menunggangi dan memiliki agenda tersembunyi dan diduga kuat terkait Pilkada Tahun 2020. Sudah menjadi rahasia umum bahwa, para pegawai KPK dan pimpinannya ada yang diduga terpapar dan berafiliasi pada kelompok tertentu atau juga ideologi tertentu. Sehingga, jika mereka dapat mempertahankan kewenangannya, maka, Pilkada tahun 2020 sudah dapat diduga akan ada banyak OTT yang dilakukan terhadap lawan-lawan politik yang ideologinya tidak sama,” tegas Petrus Selestinus.
Pengacara senior ini meminta pegawai KPK mau mengintrospeksi diri dengan merujuk pada apa yang terjadi pada anggota DPR dan DPD yang harus masuk dalam pembekalan oleh Lemhannas RI. Menyusul DPR dan DPD seluruh pegawai KPK seharusnya juga dilitsus oleh pihak yang berwenang. Lemhannas merupakan lembaga negara yang sejak tahun 1965 menjadi wadah litsus bagi para pemimpin nasional strategis.
“Melalui Lemhannas orang akan dilihat apakah sehat jasmani, sehat rohani dan juga sehat ideologi. KPK juga sebaiknya adalah mereka yang lulus Lemhannas, sehat ideologi dan memiliki jaringan kuat. KPK itu mempunya posisi strategis yang posisinya seharusnya netral, tidak terpengaruh ideologi lain atau terkait dengan partai politik, bersih diri. Jangan lupa, laporan keuangan KPK adalah Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Lha kalau statusnya WDP, bagaimana mungkin KPK akan memeriksa sebuah lembaga dengan status keuangannya Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)?” ungkap Petrus lebih dalam.
Petrus juga menganalisa, jika pegawai lembaga antirasuah itu terpapar radikalisme dan ikut bermain dalam pilkada, jangan heran, jika separoh dari Provinsi, Kabupaten dan Kota yang melaksanakan Piklada akan dikuasai oleh kelompok radikal. Sebagai efeknya, akan banyak lagi perda-perda syariah atau yang tidak sesuai dengan Pancasila akan muncul.
“Radikalisme itu sifatnya jaringan dan terikat satu sama lain dan sudah masuk ke semua lembaga. Yang bisa melakukan deradikalisasi adalah Pimpinan KPK yang memiliki jaringan kuat dengan berbagai instansi terkait dengan program deradikalisi seperti yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Bangsa Indonesia tidak boleh bermain-main lagi dengan wacana dan saling menunggangi. KPK harus bersih dari mereka yang tidak menerima Pancasila dan NKRI. KPK harus memiliki pegawai yang kerjanya transparan melalui kerjasama yang baik antara Pimpinan dan bawahannya. KPK harus berbenah diri,” tegasnya.