TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Transparency International Indonesia mencurigai motif DPR periode 2014-2019 yang mengesahkan usulan Badan Legislatif DPR untuk revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada rapat paripurna, Kamis (5/9/2019).
“Kesepakatan untuk kembali merevisi UU KPK ini, terlebih di ujung masa bakti DPR 2014-2019, semakin memperlihatkan adanya upaya pelemahan kelembagaan KPK secara sistematis,” ujar Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko kepada wartawan, Jumat (6/9/2019).
Setidaknya, disepakati empat poin revisi yang mengatur perubahan kedudukan dan kewenangan KPK dalam revisi UU KK.
Yakni, adanya peran Dewan Pengawas KPK, diatur dalam Pasal 12, untuk mengawasi tugas dan wewenang lembaga itu serta memberikan persetujuan untuk penyadapan.
Selain itu, KPK diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3), jika kasus tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.
Baca: Identitas Mayat di Pinggir Tol Jagorawi Ternyata Sopir Taksi Online
Lalu, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum ditempatkan sebagai cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan.
Pegawai KPK, menurut Pasal 1 ayat 7 RUU KPK, berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk sesuai peraturan perundang-undangan.
Rekrutmen penyelidik, serta penyidik diisyaratkan Pasal 43, harus berasal dari institusi tertentu dengan sistem sesuai lembaga tersebut.
Menurut TII, revisi UU KPK menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dan badan legislatif untuk menjadikan lembaga antikorupsi independen. Hal serupa terjadi di negara lain.
Catatan TII, sebagian besar dari 40 lembaga antikorupsi di Asia Pasifik termasuk KPK, terhambat karena kendala independensi, kelembagaan yang lemah, dan mandat terbatas.
Berbagai upaya mengganggu independensi KPK masih terus dilakukan. Termasuk, dalam pemilihan pemimpin KPK 2019-2023 yang saat ini melibatkan berbagai masalah dalam prosesnya.
TII mengingatkan, Pasal 6 Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) menegaskan lembaga antikorupsi harus dilengkapi dengan independensi yang diperlukan.
Menjalankan fungsi secara efektif dan bebas dari pengaruh, serta sumber daya material, staf, dan pelatihan yang memadai.
Syarat ini seharusnya dilaksanakan, mengingat Indonesia telah menjadi negara pihak pada UNCAC sejak ratifikasi pada 18 Desember 2003.
Rendahnya komitmen ini juga diperlihatkan dari buruknya kepatuhan pelaksanaan rekomendasi UNCAC, dimana hingga saat ini Indonesia baru menyelesaikan 8 dari 32 rekomendasi yang disarankan.
Standar ini tentu juga sejalan dengan Prinsip-Prinsip Jakarta tentang Lembaga Antikorupsi (The Jakarta Principles 2012) yang mendorong negara berani melindungi independensi lembaga antikorupsi.
Tren serupa juga terkonfirmasi dari hasil riset pengukuran kinerja KPK (2017 & 2019) yang dilakukan TII.
Riset tersebut memperlihatkan aspek independensi perlu diperhatikan, dalam hal ini termasuk disumbang berbagai upaya pengurangan kewenangan KPK.
Karena itu, TII berpendapat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus berani menolak revisi UU KPK.
Selain itu, DPR juga harus menarik RUU KPK dalam pembahasan di legislatif bersama pemerintah.