Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamanatkan berdirinya Dewan Pengawas KPK.
Adanya Dewan Pengawas KPK itu membuat penyidik dan pimpinan KPK dalam melakukan upaya penegakan hukum, mulai dari penyadapan, penghentian penyidikan dan penuntutan serta penggelahan dan penyitaan harus melaporkan kepada Dewan Pengawas.
Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK, Rasamala Aritonang, membantah tidak adanya lembaga yang mengawasi komisi antirasuah.
Dia menegaskan KPK selama melakukan upaya hukum diawasi lembaga lain.
"Satu catatan penting, sebenarnya banyak disampaikan di luar bahwa KPK saat ini tidak ada pengawas. Saya kira itu perlu dikoreksi," kata dia, pada sesi jumpa pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Minggu (8/9/2019).
Baca: Diet vegan dan vegetarian turunkan risiko penyakit jantung, naikkan risiko strok
Baca: Pria Paruh Baya Cabuli Anak Tiri, Kata Polisi Pelaku Izin ke Ibu Korban dan Direstui
Pasal 20 UU KPK menyebutkan;
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara :
a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya;
b. menerbitkan laporan tahunan; dan
c. membuka akses informasi.
"KPK sepenuhnya bertanggungjawab kepada publik dengan menyampaikan laporan kepada presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan mencakup penilaian terhadap kinerja dan etik. Tiga lembaga ini berwenang mengawasi kinerja KPK," ujarnya.
Baca: Seram, Modifikasi Kawasaki Ninja 150 SS Bawa Roh Balap ke Jalan Raya
Baca: Kata Tentangga Tentang Kondisi Mantan Suami Vina Garut Sebelum Meninggal Dunia
Peran DPR RI mengawasi KPK terlihat pada saat digelar rapat dengar pendapat (RDP).
Selain itu, kata dia, diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36 Tahun 2017 menegaskan pengawasan yang dilakukan DPR dalam konteks hak angket bisa dilakukan terhadap KPK.
"Sebatas itu tidak berkaitan dengan fungsi penyelidikan penyidikan dan penuntutan. Artinya di luar ketiga fungsi tersebut bahkan DPR boleh melakukan hak angket, mosi tidak percaya kepada KPK. Itu sudah ditegaskan di MK di putusan nomor 36 dan 40 tahun 2017," ungkapnya.
Atas dasar itu, dia menambahkan, apabila DPR berpendapat mau memindahkan fungsi pengawasan ini memang menjadi pertanyaan.
"Apakah ini karena memang DPR RI tidak punya kapasitas, kemampuan untuk melakukan pengawasan padahal undang-undang sudah memberikan kewenangan untuk itu sehingga perlu dibuat satu Dewan Khusus atau pengawas khusus," tambahnya.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama menjalankan tugas dan wewenang diawasi Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang.
Keberadaan Dewan Pengawas KPK tercantum di rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adanya Dewan Pengawas KPK itu membuat penyidik dan pimpinan KPK di setiap melakukan upaya penegakan hukum, mulai dari penyadapan, penghentian penyidikan dan penuntutan serta penggelahan dan penyitaan harus melaporkan kepada Dewan Pengawas.
Pada Pasal 21 ayat 1 disebutkan mengenai Dewan Pengawas.
Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas:
a. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang;
b. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) orang Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.
Keberadaan Dewan Pengawas diatur dalam bab tersendiri.
Bab tersebut memuat mengenai tugas dan wewenang Dewan Pengawas.
Terdapat setidaknya tujuh pasal yang memuat mengenai Dewan Pengawas. Pasal itu disisipkan di antara Pasal 37 dan Pasal 38.
Nantinya, KPK setiap melakukan upaya hukum harus sepengetahuan dan melaporkan kepada Dewan Pengawas. Mulai dari tahapan penyadapan, seperti yang tercantum pada Pasal 12 B.
Pasal 12B
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
(2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas untuk melakukan Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis atau tidak memberikan izin tertulis terhadap permintaan izin tertulis tersebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak permintaan izin tertulis diajukan.
(4) Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
Pasal 12C
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang sedang berlangsung dilaporkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.
Lalu, pada Pasal 40 ayat (2) disebutkan mengenai penghentian penyidikan dan penuntutan yang harus melaporkan pada Dewan Pengawas.
Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
Begitu juga, pada saat penyidik KPK melakukan upaya penggeledahan dan penyitaan harus atas izin Dewan Pengawas. Ini tercantum di Pasal 47 ayat (1)
Pasal 47
(1) Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.