TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita mengkritik keberadaan wadah kepegawaian KPK yang menurut dia telah menyimpang dari tujuan pembentukannya berdasarkan PP Nomor 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.
Romli mengatakan, PP tersebut memberikan kewenangan kepada wadah pegawai untuk menyampaikan aspirasi kepada pimpinan KPK melalui dewan pertimbangan pegawai KPK.
"Dalam kenyataan, wadah pegawai KPK telah berfungsi sebagai 'pressure group' terhadap kebijakan pimpinan untuk memaksakan tuntutannya," kata Romli dalam keterangan tertulisnya," Senin (9/9/2019).
Baca: Ketika Jan Ethes Angkat Kaki ke Paha Jokowi
Romli menyinggung soal aksi pegawai KPK yang gencar menyuarakan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Romli menilai, sikap pegawai KPK yang langsung menyuarakan pendapatnya ke muka publik itu bertentangan dengan aturan yang ada.
Selain PP 63/2005, menurut dia, aksi itu juga bertentangan dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2018 mengenai Organisasi dan Tata Kerja KPK.
Selain itu, Romli menilai, kritik dari wadah pegawai KPK dan sejumlah LSM juga tak didasari kajian mendalam.
"Penolakan sekelompok masyarakat terhadap perubahan UU KPK tidak dilengkapi dengan data dan fakta hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan karena hanya mengandalkan opini dan prasangka buruk publik semata-mata," ujar dia.
Romli sendiri mendukung revisi UU KPK yang diusulkan DPR. Romli yang juga salah satu tim perumus UU KPK ini menyebut, KPK sudah menyimpang dari tujuan awalnya.
"Perjalanan KPK selama 17 tahun terutama sejak KPK jilid III telah menyimpang dari tujuan awal pembentukan KPK," kata dia.
Romli menyebut, saat itu KPK didirikan untuk memelihara dan menjaga keseimbangan pelaksanaan pencegahan dan penindakan korupsi dengan tujuan pengembalian kerugian negara secara maksimal.
KPK juga diharapkan dapat melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan.
Namun, Romli menilai hal tersebut tak lagi berjalan. Menurut dia, KPK terkesan lebih sering bekerja sendirian tanpa melakukan koordinasi dan supervisi dengan dua institusi penegak hukum lain.
Sementara itu, pengembalian keuangan negara dari kasus korupsi yang ditangani KPK juga kecil, atau kalah dari institusi Polri dan Kejaksaan.