TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selayaknya seorang presiden dan keluarganya, almarhum Bacharuddin Jusuf Habibie juga memiliki seorang pengawal dan ajudan yang melekat ke manapun dia pergi.
Albiner Sitompul adalah ajudan yang setia mendampingi mantan Menteri Riset dan Teknologi itu sejak Habibie menjabat sebagai wakil presiden hingga tidak lagi menjabat.
Albiner Sitompul mengawal BJ Habibie dan Ibu Hasri Ainun Habibie saat tinggal di Jerman.
Kepergian Habibie juga membawa duka tersendiri bagi Tompul, begitu Habibie menyapanya.
Saat Habibie sakit, ia tengah mengikuti Festival Keraton Nusantara (FKN) XIII Tahun 2019 di Tana Luwu, Sulawesi Selatan. Dia berjanji akan menjenguk Habibie sepulang dari acara.
Namun Tuhan berkehendak lain, Rabu (11/9/2019) pukul 18.05 WIB, Habibie berpulang untuk selama-lamanya.
Tompul berkisah mengenai pengalaman, kesan, pesan dan pelajaran yang dia peroleh selama mengawal Habibie.
Berikut hasil wawancara Tribun bersama Albiner Sitompul saat menyambangi Kantor Redaksi Tribun.
Apa pesan pak Habibie yang paling berkesan dan hingga kini bapak masih kenang?
Banyak ilmu yang diberikannya. Tompul, perbanyak mengetahui perbedaan, perbanyak mengetahui elemen-elemen perbedaan, biar kau Tompul bisa hidup dalam perbedaan. Itu yang saya ingat dan tidak bisa saya lupa. Itu yang saya bawa dan itu saya teruskan.
Begitu dekat sekali Pak Tompul dengan beliau. Pak BJ Habibie pernah menjadi Menteri, Wapres, dan Presiden. Apakah Pak Tompul melihat perbedaan dalam diri pak Habibie?
Saat jadi Presiden, beliau punya karakter yang kuat. Bekerja cepat, tepat, dan tuntas. Tidak boleh lambat, cepat. Dan setelah dia tidak presiden, Tompul, saatnya saya merawat ibu. Mendampingi Ibu. Membawa ibu kemana saja dia suka. Bahkan belanja bumbu pun bapak menemani ibu. Perbedaan yang betul-betul saya lihat kala Presiden dan tidak lagi jadi Presiden adalah benar-benar bapak mencintai ibu. Dari segi karakter tidak ada perbedaan.
Bapak bersyukur pernah mengenal Pak Habibie?
Alhamdulillah. Seandainya saya punya uang Rp5 triliun, tidak mampu saya ulang sejarah itu. Untold story. Ilmu itu banyak sekali. Selama dua tahun saya bersama-sama bapak dan ibu dari rumah, ke pasar, ke mana, pindah ke mana, kami bertiga. Berapa SKS itu ilmunya.
Saya tidak butuh foto-foto. Tidak ada satupun foto saya dengan beliau. Foto saya dengan beliau itu hanya ada setelah saya sudah menjadi kepala biro pers, media dan informasi sekretariat presiden (Setpres) di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saat itu 2016, ada kabar hoaks beredar yang menyebut bapak meninggal dunia. Saat itu saya datang ke rumah bapak. Dan saya minta foto bersama dengan bapak. Dan hanya itu foto saya bersama bapak.
Tapi, jauh dari itu, dua per tiga dunia sudah ia ajarkan kepada saya. Dia bukan ayah kromosomku. Tapi dia bapakku, yang telah memberikan ilmu. Dan tidak mungkin saya mendapatkan ilmu itu. Banyak sekali ilmu, pelajaran yang ia berikan kepada saya. Mungkin buku yang berbicara. Dia mengajarkan semua mengenai kehidupan.
Memofoto saja dia ajarkan ke saya. Kenapa Bapak ajarkan saya memfoto? itu tanya saja dulu. Bapak bilang ke saya, "Suatu saat kau perlu. Foto kumbang itu begini Tompul. Begini." Eh alhamdullilah saya ternyata pernah jadi kepala penerangan AD.
Dia juga mengajari saya bagaimana menghormati orangtua, bagaimana menghormati besan. Dia itu sangat menghormati kakak-kakak iparnya. Satu yang tidak bisa saya lupakan itu, saat harus berpisah. Saat itu pangkat saya masih mayor, saya harus laksanakan perintah ikut Sesko.
Kapan itu terjadi Pak?
Itu saat saya mau berpisah dengan Bapak. Saat itu saya mendapat perintah untuk sekolah di Sesko. Saya harus berpisah. Yang saya nggak tahan itu dari mbak Widya Leksmanawati (istri dari putra sulung Habibie, Thareq Kemal Habibie -red), "Nggak sayang dengan Bapak?"
Terus waktu itu kita di Paris, Prancis. Waktu itu ada pameran mobil. Bapak juga pernah tanya ke saya, Tompul, "Nggak sayang sama bapak?" "Saya, sayang, Pak. Tapi saya harus laksanakan perintah tugas, Pak."
Saat itu bapak bilang, kau itu bukan kromosomku. Tapi kau anakku.' (Tangan kanannya menepuk punggung tangan kirinya, suaranya terbata-bata, matanya tampak basah).
Sejak itu saya enggak mau dekat. Ketika itu saya harus menjaga diri, jangan terlalu dekat, aku takut. Sampai ketika saya menjaga Pak Jokowi sebagai kepala biro, saya harus menjaga jangan sampai Pak Jokowi tahu kalau saya dekat dengan Pak Habibie. Enggak bisa lupa, selalu itu yang terkenang. Itu, menurut saya, sesuatu yang sangat mengena dan membuat saya sangat tersentuh dan terkenang hingga sekarang. (Albiner meneteskan air mata ketika mengenang ucapan Habibie itu). Itu selalu saya kenang, tidak bisa saya lupa itu.
Apa yang buat Pak Habibie begitu nyaman dan percaya sama Pak Tompul?
Saya juga nggak tahu. Mungkin karena saya pakai hati menjalankan tugas mengawal bapak dan ibu. Tapi mungkin itu sejak waktu itu Ibu sakit dan dirawat di rumah sakit Elizabeth, di Singapura. Dan saya harus jaga. Ya mungkin dari situ. Ya, mungkin seperti tadi, itu karena dari hati. Saya pernah ditanya bapak. "Tompul, mengapa kamu mau mengawal Bapak? Kenapa mau temani Bapak? Apakah karena Bapak orang kaya? Apakah karena Bapak mantan Presiden?" "Nggak, Pak. Bapak itu profesor, jadi saya mau belajar banyak dari Bapak." Itu jawaban saya waktu itu.
Berikutnya bapak juga baru tahu bahwa saya juga pernah kuliah teknik mesin. Jadi ada kemiripan juga terkait teknik. Waktu masih ada, Ibu itu sering mengaji dan mengaji. Waktu terakhir bertemu, Bapak bilang, "Saya sekarang rajin mengaji, Tompul."
Pelajaran hidup apa sih yang Pak Habibie berikan kepada Pak Tompul, yang masih terkenang?
Jangan kamu memaksakan kehendakmu di dalam perbedaan, tapi kau kerjakan pekerjaan itu dengan cepat, tepat dan tuntas. Karena waktu berjalan terus. Dan jangan sok jadi pahlawan.
Bapak banyak menyampaikan mengenai itu. Khususnya mengenai perbedaan. Bapak Habibie dengan Ibu pernah ajari saya. Ketika itu anak pertama saya lahir tahun 2000. Saya merasa ada sesuatu, saya waktu itu di Jerman, bukan cemberut saya tapi tengah memikirkan itu. Saya waktu itu diajarkan sama Bapak dan Ibu untuk tersenyum. "Tompul senyum, Tompul senyum."
Dari situ, aku dapat belajar, hadapi dengan senyum, merindu ya, mau pulang saya enggak boleh. Anak lahir, untunglah waktu itu mertua. "Pak tolong jagain anak saya lahir. Saya di Jerman, anak saya lahir." Saya diajari senyum menghadapi situasi itu.
Adakah kebutuhan khusus Bapak yang harus Pak Tompul siapkan?
Saya itu sudah harus menyiapkan ada kotak pil, vitamin C. Ini diajarkan ibu saya untuk dikonsumsi. Terus ada kayak minyak ikan. Jadi pagi, sore saya sudah harus memberikan itu. Kecuali ada hal-hal beliau sakit. Tapi Bapak jarang sakit. Berenangnya subhanallah. Jadinya saya hobi berenang juga. Bapak itu berenangnya kuat. Tapi setelah terakhir-terakhir ini kabarnya sudah tidak lagi. Dia berenang dan berenang. Di rumah ada kolam renang. Bapak berenangnya itu subhanallah.
Kapan terakhir bertemu Pak Habibie?
Kita makan siang saja. Tidak ada yang khusus kita bahas. Tidak ada pesannya. Hanya makan siang. Itu 2018. Setelah itu hanya lihat dari televisi mengenai Bapak. Waktu sakit terakhir kemarin, saya kebetulan lagi di Makassar ada undangan mengikuti Festival Keraton Nusantara (FKN) XIII Tahun 2019 di Tana Luwu, Sulawesi Selatan.
Bagaimana sosok Habibie dalam berkerabat?
Luar biasa yang saya dapatkan pelajaran tentang hidup mengenai itu. Bapak itu selalu mengatakan, "Kromosom saya ini ada orang Jawa, ada orang Makassar, Tompul. Kita harus menjunjung tinggi peradaban, bahwa manusia harus kita hargai. Setiap tamu, siapapun tamu itu dilayani dan diantar sampai ke depan pintu." Dan saya tugasnya mendampingi dari pintu sampai ke kendaraan.
Bapak itu juga tidak mau menyalahkan orang. Tidak mau menyalahkan orang dan diamnya itu banyak. Diamnya itu mikir cepat, cepat mencari solusi.
Ketika Bapak melihat jenazah Bapak Habibie, apa yang ada di benaknya Pak?
Saya hanya berdoa, semoga Mas Ilham, Mas Thareq, anak dan cucu-cucunya meneruskan apa yang Bapak telah buat. Yang lain tidak ada. Memang saya harus mendampingi beliau, sepenuh hati. Yang saya ingat semoga Mas Ilham, Mas Thareq, anak dan cucu-cucunya menjadi anak yang soleh dan solehah. Dan meneruskan bakti yang Bapak telah lakukan. Kita doakan bukan hanya Pak Habibie. Pak Habibie itu sudah masuk surga.
Setelah Sidang Umum MPR pada 1999, laporan pertanggungjawaban BJ Habibie ditolak dan tidak kembali mencalonkan diri. Habibie memilih ke Jerman. Pernahkah Pak Habibie berkisah mengenai alasan ke Jerman untuk waktu yang relatif lama?
Saya pernah tanya Bapak waktu itu, "Pak, kita kok pergi ke luar negeri? Pulang saja kita, Pak." "Tompul, aku nggak mau terjadi gesekan. Aku cinta kepada tanah air. Karena cintanya saya dengan Indonesia saya harus ke luar negeri. Saya bukan politikus. Saya seorang teknokrat. Hari ini A, besok A. Karenanya, setelah laporan saya ditolak, saya tidak mau lagi maju. Saya harus menjaga Indonesia. Kita sudah bangun lama. Makanya saya harus ke luar negeri." Bapak kan punya rumah di Jerman.