Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR RI mengebut pembahasan revisi sejumlah Undang-Undang dipenghujung masa keanggotaan DPR 2014-2019.
Berbeda seperti biasanya, DPR langsung membahas Undang-Undang begitu menerima surat presiden (surpres).
Baca: Pemerintah dan DPR Kebut 3 Revisi Undang-undang, Salah Satunya RUU KPK
Pada Jumat siang ini, Badan Legislasi DPR RI akan menggelar rapat revisi tersebut.
"Ya, (rapat) pukul 14.00 WIB," ujar anggota Baleg dari PDIP, Hendrawan Supratikno saat dihubungi, Jumat, (13/9/2019).
Adapun rapat akan membahas revisi tiga Undang-Undang , yakni revisi undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), serta revisi UU tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Revisi undang-undang yang terkahir memungkinkan DPR melanjutkan pembahas revisi yang belum rampung pada periode sekarang ke periode selanjutnya, tanpa memulai dari awal (Carry over).
"Seperti yang dibicarakan semalam, tiga RUU," katanya.
Sebelumnya, pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Mendagri Tjahjo Kumolo menggelar rapat bersama DPR RI pada Kamis malam, (12/9/2019).
Rapat digelar pada hari yang sama DPR menerima Surat Presiden mengenai revisi UU KPK.
Baca: 4 Poin Draf Revisi UU KPK yang Ditolak Jokowi
"Surpres (RUU KPK) tidak perlu diparipurnakan, dibamuskan boleh. Bamus (Badan Musayawarah) DPR menunjuk siapa yang bertanggung jawab soal ini ya udah," kata Yasonna sat ditanya alasan pemerintah mengebut revisi UU KPK.
Pemerintah menurut Yassona menyambut baik usulan revisi yang merupakan inisiatif DPR RI, salah satunya Revisi Undang-undang KPK, yang beberapa poin di dalamnya terkait pembentukan Dewan Pengawas, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada di cabang eksekutif serta sistem kepegawaian KPK dan pelaksanaan penyadapan.
"Nanti dengar saja itu," pungkas Yasonna.
4 poin draf Revisi UU KPK yang ditolak Jokowi
Presiden Jokowi mengungkapkan empat poin yang tidak disetujui dirinya atas beberapa poin substansi dalam draf RUU KPK.
"Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK" ujar Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019) yang didampingi oleh Mensesneg Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
Baca: Meski Ditolak 500 Pegawai KPK, Irjen Filri Bahuri Terpilih Jadi Ketua KPK, Ini Daftar Kontroversinya
Pertama, Jokowi menyatakan tak setuju jika KPK harus mendapatkan izin pihak luar saat ingin melakukan penyadapan.
Menurutnya, KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan.
Kedua, Jokowi tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan.
Jokowi menyatakan penyelidik dan penyidik KPK bisa berasal dari unsur aparatur sipil negara (ASN)
"Yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lainnya. Tentu saja harus melalui prosedur rekurtmen yang benar," imbuhnya.
Ketiga, Jokowi mengatakan tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan.
Menurut dia, sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tidak perlu diubah lagi.
Baca: 5 Nama Pemimpin KPK Periode 2019-2023 yang Terpilih, Termasuk yang Ditolak 500 Pegawai KPK
Keempat, Jokowi menyatakan tidak setuju apabila pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari lembaga antirasuah dan diberikan kepada kementerian atau lembaga lainnya.
"Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini," tegasnya.