Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno menilai revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diperhatikan kembali.
Menurutnya, revisi UU KPK tersebut ada yang berpotensi melemahkan kinerja dari lembaga KPK.
Baca: PDIP Targetkan Minimal 60 Persen Menang di Pilkada 2020
Sandiaga Uno tidak setuju jika nantinya penyadapan yang dilakukan penyidik KPK harus mendapat persetujuan dari pihak eksternal.
"Harus dibedah mana yang, karena banyak sekali poin-poin yang ada dalam revisi tersebut. Yang saya tidak setuju adalah secara sistematis melemahkan KPK dengan bahwa penyadapan itu harus berkoordinasi, itu ya buat apa. Terus juga bagaimana KPK ini tidak lagi menjadi independen, pasti akan memperlemah kinerja KPK ke depan," kata Sandiaga Uno saat ditemui di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Sabtu (14/9/2019).
Namun, dalam beberapa poin, Sandiaga Uno setuju adanya revisi UU KPK, misalnya pembentukan Dewan Pengawas.
Sandiaga Uno menilai, perlunya Dewan Pengawas untuk memonitor kinerja KPK.
Sehingga lembaga bergerak sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
Baca: Dituduh Tak Kuliah Karena Liburan Terus, Aurel Hermansyah Beri Jawaban Tegas tentang Pendidikannya
"Pertama, bagaimana karena manusia itu bisa melakukan kesalahan. Seandainya teman-teman di KPK melakukan kesalahan perlu diberikan exit mecanism, SP3," tutur Sandiaga Uno.
"Dewan pengawas saya rasa perlu. Semua lembaga enggak bisa menjadi superbodi. Harus ada oversize. Saya sepakat," sambungnya.
Pimpinan KPK dinilai sangat lemah
Komisi III DPR RI telah memilih dan memutuskan lima komisioner baru KPK periode 2019-2023 dan mengebut rumusan revisi UU KPK.
Pimpinan KPK saat ini dinilai memberikan reaksi memalukan dan kekanak-kanakan di ruang publik.
Hal itu ditunjukan dengan menyerahkan mandat pimpinan KPK kepada presiden Joko Widodo.
Menurut Petrus Selestinus dari Forum Lintas Hukum Indonesia sikap kekanak kanakkan yang ditampilkan para pimpinan KPK jelas menandakan bahwa Agus Rahardjo dkk tersebut tidak memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat sekuat lembaga KPK yang superbody.
“Ternyata 5 pimpinan KPK sangat lemah, mudah menyerah tidak hanya pada kritik dari masyarakat tetapi mudah didikte oleh Wadah Pegawai KPK,” ucap Petrus saat dikonfirmasi, Sabtu (14/9/2019).
Baca: Resmi Dilantik Jadi Ketua KPK, Firli Harus Berhenti Jadi Jenderal Aktif
Lebih jauh, Petrus menerangkan, tindakan berhenti secara serentak dan kolektif oleh para pimpinan KPK jelas tidak prosedural, bahkan merupakan tindakan pemboikotan atau insubordinasi karena penyampaiannya melalui media massa.
“Ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 32 UU no 30 tahun 2002 tentang KPK. Ini jelas memberikan pesan kepada publik bahwa pimpinan KPK sedang melakukan manuver politik,” kata Petrus.
Lucunya, setelah berkoar di media, lanjut Petrus, sudah mengembalikan mandat kepada presiden, para pemimpin lembaga antirasuah ini berharap presiden Jokowi tetap memberikan kepercayaan memimpin KPK hingga Desember 2019.
“Kepercayaan Presiden dan DPR ini seakan sedang dipermainkan oleh sikap pimpinan KPK. Karenanya harus ditindak tegas,” jelasnya.
Dengan dikembalikannya mandat pimpinan KPK kepada presiden, secara yuridis tanggung jawab pengelolaan KPK terhitung 13 September 2019 berada dalam keadaan vakum.
Karena tidak mungkin presiden melaksanakan tugas tugas pimpinan KPK. Kini KPK hanya memiliki dua organ yang masih eksis meskipun sedang bermasalah, yaitu Organ Tim Penasehat dan Organ Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas.
“Presiden dan DPR harus menunjuk Plt pimpinan KPK atau segera melantik pimpinan
KPK baru untuk segera bertugas,” tutup Petrus.