News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik KPK

Sekjen PDIP: Kekuasaan Awak KPK Tak Terbatas

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PERNYATAAN SIKAP UGM. Sejumlah mahasiswa membawa poster dukungan untuk KPK saat pembacaan sikap civitas akedemika terkait polemik pembahasan RUU KPK di kampus UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (15/9/2019). Dalam kesempatan tersebut dibacakan sikap yang berisi lima poin yang intinya menolak pembahasan RUU KPK dan segala upaya pelemahan KPK. TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menjawab soal posisi partainya di tengah kerasnya prokontra menyangkut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Khususnya setelah persetujuan presiden atas revisi UU KPK, terpilihnya komisioner baru, dan dilanjutkan manuver politik para komisioner KPK saat ini.

Hasto menjelaskan, pertama, bahwa pihaknya tetap merasa bahwa pemberantasan dan pencegahan korupsi adalah pekerjaan yang tidak akan pernah berhenti. Sebab korupsi adalah kejahatan luar biasa.

Namun, sebaiknya semua pihak melihat persoalan secara jernih. Khususnya menyangkut kelompok anti revisi UU KPK dengan yang menyetujuinya.

"Sebaiknya kita melihat secara jernih terhadap pro dan kontra," kata Hasto, Minggu (15/9/2019).

Menurut Hasto, para pihak yang setuju revisi UU KPK memiliki landasan argumentasi yang kuat. Selama ini, kekuasaan para awak KPK sangat tidak terbatas dan di dalam kekuasaan yang tidak terbatas itu bisa disalahgunakan oleh oknum yang di dalamnya.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto disela Rakerda I PDI Perjuangan Kalimantan Barat, di Hotel My Home, Sintang, Kalbar, Jumat (13/9/2019). (Fransiskus Adhiyuda/Tribunnews.com)

Ia lalu mencontohkan bagimana bocornya sprindik Anas Urbaningrum dan pelanggaran kode etik yang dilakukan mantan Ketua KPK Abraham Samad pada saat penyusunan calon menteri tahun 2014 lalu.

"(Abraham Samad, red) Mencoret nama-nama calon menteri secara sembarangan, tidak proper dengan vested interest.

Dan kemudian tidak ada proses atau kritik perbaikan ke dalam yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus Samad itu," ujar Hasto.

Terkait hal itu, kata Hasto, tak pernah ada jawaban jelas dari unsur KPK terhadap berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di dalamnya.

Diantara pimpinan KPK dan wadah pegawai KPK sendiri namapak sebagai dua buah entitas berbeda dengan kepentingannya masing-masing.

Baca: Denada Kabarkan Kondisi Terkini Putrinya Setelah Hampir 2 Tahun Dirawat karema Leukimia

Baca: Sinopsis Film Chrisye, Berkisah tentang Perjalanan Hidup dan Karier Musisi Legendaris Chrisye

Baca: Foto-foto: 771 Jamaah Haji Kaltara Tertahan di Balikpapan, Akibat 10 Penerbangan Terganggu Asap

Baca: Aspek Gender Dinilai Perlu Jadi Perhatian dalam Pemilihan Pimpinan DPD RI

Padahal, di dalam sebuah organisasi dan manajemen yang sehat, tidak boleh ada yang namanya organisasi kepegawaian yang kewenangannya melampaui kewenangan pimpinan KPK itu sendiri.

"Mereka yang tidak setuju revisi UU KPK, dari dalam internal KPK, seharusnya juga mampu memberikan penjelasan tehadap berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu, menjawab berbagai pertanyaan yang secara kritis disampaikan oleh masyarakat," ujar Hasto.

"Jadi bisa dikatakan, persetujuan untuk revisi UU KPK itu sebenarnya akibat tindakan orang yang ada di KPK sendiri. Karena ketertutupan dan tak ada penjelasan terhadap berbagai pertanyaan yang ada," tambahnya.

Hasto pun menambahkan, semua pihak tak perlu takut bahwa parpol ingin agar korupsi itu menjadi lestari. Karena unsur parpol juga selalu memberikan dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Di PDIP, kata Hasto, pemecatan seketika diberikan kepada kader yang melakukan korupsi.

"Parpol itu juga sedih, menangis ketika ada anggota kami yang tertangkap tangan KPK.

Karena itulah kami tidak henti-hentinya terus melakukan pendidikan politik, menertibkan hukuman, dan kemudian menempatkan kader-kader secara selektif dengan baik," beber Hasto Kristiyanto.

"Dan sejak awal harus punya komitmen untuk antikorupsi itu," jelasnya.

Lanjutnya, korupsi di lingkungan politik terjadi lebih karena budaya ketaatan hukum di rata-rata orang Indonesia harus lebih diperbaiki.

Kedua, lanjut Hasto, terkait juga dengan sistem politik liberal yang dipraktikkan. Sistem itu membuat biaya politik mahal dan kerap menjadi pemicu para politisi melakukan tindakan korupsi.

"Karena itulah kami secara konsisten terus melakukan upaya perbaikan dan mendukung seluruh kerja dari lembaga yang ditugaskan untuk memberantas korupsi itu," terang Hasto.

Lebih jauh, Hasto meminta agar yang menolak perubahan UU KPK, termasuk Forum Rektor, agar melihat juga temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di KPK. Yakni ada indikasi berbagai penyimpangan di KPK RI.

"Dimana ada pihak-pihak tertentu yang di dalam temuan itu terbukti menggunakan uang negara itu. Dan kemudian ada produk-produk hukum yang tidak memiliki kekuatan hukum.

Karena itulah dari temuan BPK itu kami berpendapat justru dengan revisi undang-undang KPK ini akan memberikan kepastian hukum," papar Hasto.

"Karena kalau tidak ada revisi, maka apa yang diputuskan oleh KPK akan tidak memiliki kekuatan hukum.

Itu berdasarkan dari keputusan Mahkamah Agung dan audit dari BPK dimana PP yang dipakai untuk dasar bekerjanya KPK tidak memiliki landasan hukum tersebut," imbuhnya

Intinya, kata Hasto, PDIP hanya berharap semuanya tidak masuk ke dalam prokontra tanpa melihat argumentasi jelas dan hendaknya isu KPK ini tidak dipolitisasi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini