Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai ada sepuluh pokok permasalahan dalam RUU Pertanahan yang rencananya hendak disahkan dalam waktu dekat.
Pertama, RUU Pertanahan dinilai bertentangan dengan Konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960.
Satu di antaranya adalah banyak prinsip Undang-Undang Pokok Agraria yang dinilai dikhianati oleh RUU Pertanahan yakni prinsip keadilan, kemanusiaan, kedaulatan bangsa, fungsi sosial atas tanah, kesuburan tanah, tanah bagi penggarap, anti penelentaran tanah, anti monopoli usaha swasta, anti feodalismem, hak perempuan atas tanah, dan prioritas lapangan usaha agraria yang bersifat gotong royong.
Kedua adalah Hak Pengelolaan dan Penyimpangan "Hak Menguasai dari Negara".
Pengaturan HPL dalam RUU pertanahan dinilai tidak memiliki dasar kajian, evaluasi dan koreksi menyeluruh terhadap praktik HPL selama ini maupun yang diatur oleh RUU Pertanahan.
Selain itu hak atas tanah dan konsep HMN dinilai tidak mengacu pada Konstitusi, UUPA 1960 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Baca: Kata Orang, Pemilik Rumah Reyot di Tengah Apartemen Mewah di Tanah Abang Kayak Wonder Woman
Latihan Soal & Jawaban PKN Kelas 1 SD Bab 2 Semester 1 Kurikulum Merdeka, Aku Anak yang Patuh Aturan
15 Latihan Soal Bahasa Indonesia Kelas 4 SD BAB 3 Kurikulum Merdeka dan Kunci Jawaban, Lihat Sekitar
Ketiga, Hak Guna Usaha yang diatur dalam RUU Pertanahan dinilai menyimpang dari azas umum pemerintahan yang baik.
Satu di antatanya, Bab HGU dalam di RUU Pertanahan dinilai memperparah situasi ketimpangan dengan memberikan banyak keistimewaan pada korporasi dengan memberi masa berlaku HGU 90 tahun serta HGU dapat diterbitkan di atas Tanah Negara, HPL, dan HM.
Keempat, RUU Pertanahan dinilai menyimpang dari semangat reforma agraria.
Menurut KPA, salah satunya, seharusnya reforma agraria menjadi asas dalam RUU Pertanahan sehingga rumusan bab per bab secara keseluruhan tetap senapas dengan semangat dan tujuan reformasi agraria.
Kelima, RUU Pertanahan dinilai tidak menunjukan niat penyelesaian konflik agraria struktural di semua sektor (konflik perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir kelautan, dan pulau-pulau kecil, dan konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur dan properti.
Baca: Anggota KKB Tewas Usai Baku Tembak dengan Polisi Total 3 Orang Bukan 4, Wan Neraka Masih Kritis
Keenam, pembentukan Bank Tanah atau Lembaga Pengelolaan Tanah dinilai akan menambah permasalahan krisis agraria di Indonesia di masa yang akan datang, sehingga keseluruhan bab dan pasal mengenai Bank Tanah dan Lembaga Pengelolaan Tanah harus dihapus.
Ketujuh, RUU Pertanahan dinilai mengancam wilayah adat dalam Bab terkait HPL, HGU, Bank Tanah, Pengadaan Tanah, dan Pengadilan Pertanahan karena seluruh aturan tersebut tidak diperuntukkan melindungindan mengakui masyarakat dan wilayah adat.
Kedelapan, RUU Pertanahan dinilai akan melanjutkan sektoralisme pertanahan dan masalah pendaftaran tanah karena satu di antaranya tidak sesuai asas keadilan, jaminan kepastian hukum, dan pemerintahan yang baik.
Kesembilan, RUU Pertanahan dinilai akan meningkatkan kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat, dan masyarakat umum karena RUU itu mengandung banyak pasal karet dan memberi legitimasi hukum kepada aparat (PPNS dan Polisi) untuk melakukan pemidanaan yang dipaksakan.
Baca: Selama Ini Lucinta Luna Pakai Rambut Palsu, Aslinya Cepak
Terakhir, RUU Pertanahan dinilai membuka Hak Atas Tanah bagi Asing lebih luas karena satu di antaranya RUUP membuat jenis hak baru berupa hak milik saruan rumah susun yang juga dibuka pemilikannya bagi WNA maupun korporasi atau badan hukum asing.
Sekretariat Jenderal KPA, Dewi Kartika menyoroti terkait potensi meningkatnya kriminalisasi jika terhadap petani, masyarakat adat, dan masyarakat umum jika RUU tersebut disahkan.
"Jangankan RUU Pertanahan, RUU undang-undang lain saja sudah banyak yang mengkriminalkan petani selama ini. Misalnya UU P3H di kawasan hutan yang sudah mengkriminalkan puluhan petani karena dianggap memasuki kawasan hutan. Padahal itu adalah pertanian mereka, kampung mereka, mereka biasa mengambil di situ tiba-tiba dikatakan sebagai kawasan hutan dan banyak anggota KPA yang sudah dikriminalisasi," kata Dewi di kantor Sekretariat Nasional KPA, Pancoran Jakarta, Minggu (22/9/2019).