Poin-poin bermasalah di RUU Pertanahan
Dilansir oleh Kompas.com, Senin (9/9/2019), Dewi Kartika menilai setidaknya ada delapan persoalan mendasar dalam RUU Pertanahan.
Hal itu disampaikan Kartika dalam diskusi bertajuk "Pro-Kontra RUU Pertanahan dan Implikasinya terhadap Rencana Pemindahan Ibu Kota" di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin (9/9/2019).
"Pertama, RUU itu bertentangan dengan UUPA 1960 (UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria) meski disebut akan melengkapi dan menyempurnakan yang belum diatur dalam undang-undang tersebut," ujar Kartika.
Permasalahan kedua, yakni RUU Pertanahan secara menyimpang dan dengan kuat menerjemahkan Hak Menguasai dari Negara (HMN) menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan (HPL).
Padahal, menurutnya, HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domain verklaring yang telah dihapus dalam UUPA 1960.
Baca: Revisi UU KPK Mulus, Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terseok
Domain verklaring adalah pernyataan yang menetapkan suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak bisa membuktikan kepemilikan tanah tersebut.
Ketiga, RUU Pertanahan memprioritaskan Hak Guna Usaha (HGU) untuk diberikan kepada pemodal besar atau pengusaha tanpa mempertimbangkan sejumlah aspek, semisal luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan.
"Lalu keempat, RUU Pertanahan juga disebut tidak mengatur keharusan keterbukaan informasi publik dan putusan Mahkamah Agung," ucap Kartika.
"Masalah kelima, RUU Pertanahan mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar atau perkebunan apabila melanggar ketentuan luas alas hak," lanjut dia.
Keenam, seperti diungkapkan Kartika, RUU tersebut menyempitkan agenda dan spirit reforma agraria.
Kartika menilai pemerintah hanya menganggap RUU Pertanahan sebagai program penataan aset dan akses.
Baca: Disambut Baik, Anggota DPR Minta Presiden Jokowi Segera Ajukan RUU Pemindahan Ibu Kota ke DPR