TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah rak buku di ruang kerja Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di Gedung DPR/MPR RI tampak kosong, saat Tribun datang ke Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (27//2019).
Sejumlah tumpukan kardus bermuatan ada di sekitarnya.
Saat itu merupakan hari-hari terakhir Fahri Hamzah berada di Parlemen setelah tiga periode menjadi anggota DPR RI.
Ia tak akan meramaikan panggung politik di Senayan pada lima tahun mendatang.
Fahri dibantu sejumlah orang telah mengemasi barang-barang pribadi di ruang kerjanya.
Selain sosok cerdas, Fahri juga dikenal sebagai anggota Dewan yang kerap menyampaikan pernyataan yang mengundang kontroversi di masyarakat.
Sejumlah sikap dan pernyataannya yang dinilai kontroversi di antaranya menyebut anggota DPR "rada-rada beloon", mengatasnamakan DPR dan menyatakan sepakat untuk membubarkan KPK, serta pasang badan untuk tujuh megaproyek DPR yang bukan merupakan arahan DPP.
Selain itu, Fahri terlibat silang pendapat dengan pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait wacana kenaikan gaji dan tunjangan anggota dan pimpinan DPR, serta revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Baca: Besok Mahasiswa Berencana Demonstrasi Lagi di DPR
Konflik Fahri Hamzah dengan pimpinan PKS membuatnya dipecat dari partai tempatnya bernaung.
Semua berawal saat pengurus PKS terganggu atas sikap Fahri yang dinilai cenderung membela politisi Partai Golkar Setya Novanto saat tersandung kasus 'Papa Minta Saham'.
Bukan Fahri Hamzah namanya jika tidak melakukan perlawanan secara hukum atas pemecatannya.
Alhasil, Fahri tetap bertengger sebagai pimpinan dan anggota DPR hingga masa jabatannya berakhir.
Di pengujung menjabat sebagai anggota DPR, Fahri juga tetap pada sikapnya mendukung perlunya revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (UU KPK).
Bahkan, Fahri memimpin Rapat Paripurna DPR tentang pengesahan revisi UU KPK pada 17 September 2019.
Baca: Mengintip Aktivitas Eva Kusuma Sundari dan Fahri Hamzah Berbenah Siap Tinggalkan Gedung DPR RI
Sebagian pihak menilai pembahasan hingga pengesahan RUU KPK tersebut dinilai kilat.
Sejumlah pasal di dalam RUU KPK yang disahkan DPR itu dinilai melemahkan KPK sebagai lembaga independen, khususnya keberadaan Dewan Pengawas, dengan anggota pilihan presiden.
Kini, pencabutan RUU yang telah disahkan tersebut menjadi salah satu tuntutan gelombang massa mahasiswa, termasuk saat aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI pada 24 September 2019.
Bahkan, sejumlah atribut dan tulisan vandalis dari pengunjuk rasa ditujukan untuk pribadi Fahri Hamzah.
Di awal era reformasi di 1998, Fahri yang aktif di organisasi-organisasi mahasiswa Islam di Jakarta turut membidani kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan menjabat sebagai Ketua I (1998-1999).
Ia ikut serta mengorganisir gerakan-gerakan melawan rezim Orde Baru bersama KAMMI.
Fahri mempunyai pandangan sendiri perihal aksi unjuk rasa mahasiswa yang terjadi saat ini.
Baca: Viral Twitter, Fahri Hamzah & Fadli Zon Dipermalukan Anak STM, Soal Korupsi DPR & Tidur Pas Rapat
Ia menilai ada perbedaan aksi mahasiswa saat ini dengan aksi mahasiswa pada saat 1997-1998.
Fahri mengaku bersyukur saat ini dirinya yang duduk di DPR menjadi sasaran unjuk rasa mahasiswa.
"Saya justru didemo ini istilahnya Alhamdulillah, saya bisa lihat kebangkitan teman-teman. Tapi, saya bukan generasi totaliter, saya generasi dialog," ujar Fahri.
Berikut petikan wawancara eksklusif reporter Tribun, Reza Deni Saputra, dengan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah:
Tribun: Sejak kapan Anda memulai mengemas barang pribadi dari ruang kerja dan rumah dinas?
Fahri: Soal itu saya agak terencana. Pada hari minus sekian sudah clear, soal administrasi, uang, barang, memisahkan mana barang saya atau negara, di rumah dinas, di kantor, data lengkap semua yang sekarang sudah mulai dipindahkan.
Kardus banyak itu dipisah-pisahkan. Keuangan kantor administratasi lengkap. Ada puluhan dan ratusan kardus, dan saya rigit betul soal itu.
Baca: Sinopsis World War Z, Kisah Wabah Virus Zombie, Tayang di Bioskop Trans TV 21.00 WIB
Sama juga seperti rumah dinas. Saya tidak pernah pindah. Rumah dinas hanya tempat menjamu, ketemu teman dan orang-orang.
Memang ada anggaran menjamu, saya saat jamu teman sering bercanda 'makan' APBN. Saya melucu, bertamu ada anggarannya.
Tribun: Apakah keluarga Anda ikut bantu berkemas?
Fahri: Istri dan anak-anak ke ruangan saya hanya sekali. Istri tidak mau pakai mobil dinas.
Kalau ada anak, dia tidak mau pakai. Pernah jika keadaan memaksa tapi secara prinsip tidak mau.
Anak-anak itu harus tumbuh dengan dirinya sendiri supaya mandiri. Jangan merasa bergantung sama orang lain.
Tribun: Ini hari-hari terakhir Anda berkantor di Senayan setelah sekitar 15 tahun menjadi anggota DPR. Apakah Anda sedih meninggalkan Senayan?
Fahri: Di ruang publik saya tak mau terlalu berperasaan.
Sebab, yang kita tegakkan di ruang publik adalah pikiran dan rasionalitas yang menurut publik dapat kita nalar.
Teman-teman banyak yang sedih merasa kehilangan, tapi itu manusiawi.
Manusia ketika persoalan pribadi tergoncang pasti ada problem, orang yang kerja dengan saya 10 tahun pasti ada kesedihan, biasalah, seperti kita di pemakaman pasti ada yang menangis.
Tribun: Siapa teman-teman di Parlemen yang menyatakan sedih dengan kepergian Anda?
Fahri: Saya berteman dengan semua orang, berprinsip jadilah memberi, jangan meminta.
Dalilnya tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Kalau berteman jadi yang dibutuhkan, bukan yang membutuhkan.
Baca: Geger Isu Hubungan Intim, Bebby Fey Sebut Tak Pansos, Atta Halilintar Akui Rugi Miliaran Rupiah
Pemimpin kan yang paling tegar dalam pergaulan, saya prinsip bergaul begitu.
Tribun: Anda dikenal memegang sikap rasional selama jadi Wakil Ketua DPR. Apakah hal itu juga terbawa di keluarga?
Fahri: Istri saya dokter, dua anak saya kuliah, sepertinya tak relevan kalau bawa isu luar ke keluarga. Saya enggak terlalu suka bawa keluarga ke dalam isu yang kami alami.
Kadang keluarga tahunya dari media, karena ruang publik. Saya komunikasi dengan keluarga tentang menghadapi kehidupan, pada anak saya, biasakan rajin baca, ibadah mengaji, yang remaja bicarakan mulai diskusi bersahabat bangun komunitas dialog dengan orang, kelola keuangan, itu urusan dengan anak.
Kalau istri tentang hakikat hubungan suami istri.
Nama saya keluar di koran saya langsung terpaksa dialog. Karena keluarga saya tak mesti menanggung apa yang saya tanggung. Itu dua hal berbeda.
Tribun: Anda dikabarkan akan membangun sebuah partai baru, Partai Gelombang Rakyat atau Partai Gelora, setelah meninggalkan Senayan. Apa yang mendorong Anda berani mengambil langkah itu dan siap melawan partai politik yang sudah mapan?
Baca: 7 Hotel Murah Dekat Malioboro Yogyakarta, Tarif Mulai Rp 60 Ribuan per Malam
Fahri: Partai politik atau parpol kan kontestasi ide, pasar ide, industri pemikiran, parpol menawarkan ide bukan uang, materi. Kalau kompetisi pada ide, kami kita berani karena banyak yang ditawarkan di tengah masyarakat.
Kami percaya menang, karena kalau kompetisi pikiran, jangan ada yang merasa ketakutan tersaingi, kalah, atau tersakiti, ini hanya kontestasi pikiran dan ide.
Jangan-jangan nanti idenya ketemu di tengah jalan dan bisa bersamaan, why not?
Tribun: Tapi, mengapa Anda harus membangun partai baru dibandingkan bergabung dengan parpol yang mapan?
Fahri: Saya sudah coba islah dengan PKS, (pimpinan PKS) enggak mau. Kritik saya pada PKS karena dia tidak menonjolkan pikiran, tapi perasaan pimpinan.
Kalau sudah bawa perasaan pimpinan dan enggak boleh diganggu, itu yang saya tentang.
Pada saat islah mereka enggak mau, enggak baik katanya. Ketemu saya saja mereka jadi enggak berani. Kata mereka, menjaga perasaan dan muka ustaz. Apa urusan dengan jaga muka? Ini saya tidak setuju.
Saya diajak teman-teman partai lain. Tapi, mereka tidak bisa serta-merta menerima perubahan nilai.
Baca: Mantan Pimpinan KPK: Penerbitan Perppu Jangan Serampangan
Nanti kalau sudah punya partai sendiri, kalau mau buat koalisi atau konsorsium partai sebagainya, yah bolehlah tawarkan understanding sebagai kesepakatan bersama.
Namun, jangan kemudian kita lebur ke tempat lain pada saat kita bukan apa-apa, itu yang kita hindari.
Tribun: Anda dikenal publik sebagai sosok anggota DPR dan politisi yang kontroversial, bahkan hingga di pengujung menjabat anggota DPR. Apa tanggapan Anda?
Fahri: Saya ada masalah, kadang-kadang saya jarang memikirkan suka duka. Saya anggap perjuangan itu ya abjadnya begitu, konsekuensi harus diterima.
Rumusnya kalau anda mau berpengaruh, harus kontroversial. Yang paling banyak pengikutnya adalah mazhab yang kontroversial, dalam artian attract ke lebih banyak orang.
Saya tidak mau ambil itu secara personal. Apa pun saya terima, saya tidak mau ada istilah upah berkecil atau berbesar hati, biasa saja. Hadapi dengan biasa, (maka) menjadi orang biasa.
Tribun: Semasa mahasiswa Anda pernah demonstrasi, belakangan ini justru Anda selaku pimpinan DPR menjadi salah satu sasaran yang didemo oleh kelompok mahasiswa. Apa perspektif Anda soal ini?
Fahri: Kalau soal demonya itu siklus. Saya sudah mengungkapkan teorinya, setiap 20 tahun mahasiswa turun. Pasti itu. Bangsa kita itu seperti rumah dan indikatornya ada di mahasiswa.
Itulah yang disebut moral force dan itu harus dijaga. Makanya mahasiswa sendiri harus punya kewaspadaan bahwa moral force harus dijaga.
Baca: Hasil Lengkap Skor Bola Pekan Ini: Kuatnya Tim Besar Liga Inggris, Rekor Inter di Bawah Asuhan Conte
Saya justru didemo ini istilahnya alhamdulillah saya bisa lihat kebangkitan teman-teman.
Tapi, saya bukan generasi totaliter, saya generasi dialog, dan karena itu tidak ada rasa takut bertemu dengan mahasiswa dan mahasiswa jangan salah paham juga. Jangan anggap dirinya menghadapi kita-kita ini yang tak mau dialog.
Tribun: Anda sendiri mendukung demo soal RUU KPK dan KUHP ini?
Fahri: Mendukung iya tidak apa-apa. Itu kan berarti ada yang tersumbat meskipun umurnya kalau dia betul-betul murni, dia akan berhenti pada waktunya. Enggak lama karena itu bakal hilang.
Gerakan mahasiswa itu adalah misteri, dia tidak bisa direkayasa. Saya kaget dan herannya dengan gerakan kemarin itu terlalu cepat meledaknya jadi api, terlalu cepat.
Tribun: Apa alasan Anda menilai isu tentang penolakan RUU KPK dan RKUHP tidak kuat untuk gerakan mahasiswa?
Fahri: Iya tidak kuat, karena ini gampang dipatahkan. Kalau mereka beralih dan ada isu lain, bukan saya menghasut mereka, jika mereka menemukan isu lain dan kalau isu itu diangkat, itu akan jauh lebih kuat.
Tribun: Isu apa contohnya?
Fahri: Belum kuat ini, isu ini terlalu gampang dikunyah. Saya siap masuk ke luar kampus untuk membela pikiran ini. Masa membela KUHP kolonial? Tidak masuk akal buat saya, there's something wrong.
Tribun: Apakah Anda melihat unjuk rasa mahasiswa kemarin sama dengan peristiwa 1998?
Fahri: Berbeda. Kalau tahun 1998 itu proses menemukannya itu didahului ada krisis 1997 dulu. Orang antre sembako di pinggir jalan, ada krisis moneter, pengujung tahun 1996, begitu 1997 ekonomi Asia jatuh semua.
Ditambah, parahnya lagi Pak Harto membuat kabinet salah.
Tribun: Apakah pemerintahan yang sekarang atau periode mendatang bisa melakukan kesalahan fatal?
Baca: Penyebab Ratna Sari Dewi Cium Aroma Soekarno Pada Haul Sang Proklamator, Fakta Dikuak Rachmawati
Fahri: Saya berani katakan kesalahan Pak Jokowi nanti kalau dia masih memilih kabinet yang isinya 'pembebek', asal bapak senang, Pak Jokowi bisa jatuh tengah jalan. Trust me.
Tapi, kalau dia sebagai negawaran ingin memperbaiki bangsa ini, (misalnya) dikatakan "Saya tidak punya beban, saya ingin 'gila', saya ingin betul-betul bekerja, saya tidak mau penjilat-penjilat ini yang bekerja, bukan karena afiliasi politik atau, pilih yang bisa kerja, nah selamat dia,".
Tapi kalau dia salah, mohon maaf. Kita masih hidup begini karena belum ada krisis, begitu ada krisis nanti meledak. (tribun network/reza deni saputra/coz)