TRIBUNNEWS.COM, PURWAKARTA - Nenek Edah kini telah berusia 110 tahun.
Dari usianya yang telah seabad lebih itu, nenek Edah membagikan sepenggal kisahnya, terutama saat Jepang menjajah Indonesia.
Saat Tribun Jabar berbincang dengan Edah, bukan untuk mengorek luka lama tetapi sebagai pembelajaran sejarah ke depan.
Tetapi, dirinya mencoba untuk mengingat romusha zaman jepang tersebut.
Saat itu, sebelum pendudukan Jepang hadir di desa mereka, sehari-hari bersama sang suami ia membuat gula aren untuk dijual memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Suami yang mengambilnya dari pohon aren, saya membuatnya. Mereka datang, kerja jadi terganggu," ujar Edah kepada Tribun Jabar, di Kampung Pasir Muncang, RT.14/06, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta, Minggu (6/10/2019).
Bersama sejumlah romusha lainnya, mereka menjadi tenaga kasar untuk menggali parit, mencabut rerumputan, proyek pembangunan jalan, memetik daun teh, kerja di sawah, hingga membuat goa untuk persembunyian, dan lainnya.
Untuk hasil kerja, mereka tak memperoleh upah seperser pun.
Seperti kesaksian Edah, suaminya Atori yang meninggal sekitar 1996 lalu ketika menjadi romusha kerap kali mengalami sakit berminggu-minggu lamanya karena kelelahan saat bekerja.
"Saya pernah macul tanah untuk buat parit dan jalan. Suami kerja di gua. Dulu yang jadi romusha banyak. Seingat saya tiap kampung diambil lima orang. Dipaksa kerjanya, tidak dikasih makan dan minum. Kami bawa bekal sendiri," ujar Edah.
Menurutnya, saat melakukaan pekerjaan selalu diawasi oleh mandor masing-masing.
Sedangkan prajurit jepang berjaga-jaga dengan jumlah cukup banyak.
"Sebelum merdeka, kami baru berhenti kerja," katanya.
Dia menuturkan pada saat zaman jepang, bersama rekan-rekan sesama romusha bahkan hingga warga menemukan goa jepang sekitar 2000-an. Mereka tak pernah membicarakan peristiwa itu hingga mereka meninggal dunia.
"Dulu kami disumpah, enggak boleh bercerita kepada keluarga soal kerjaan," ujarnya.
Nenek yang dikaruniai delapan orang anak ini, menceritakan prajurit jepang saat itu membuat markasnya di kampung mereka.
"Prajurit Jepang galak, sering melotot sama kami. Warga tinggal di sini yang telah berumah tangga hampir semuanya kerja. Rumah di sini masih terhitung jari," ujarnya seraya menyampaikan kini Goa Jepang dan jalan merupakan hasil pekerjaan mereka tempo dulu.
Sejak Gua ditinggalkan pengerjaannya karena Jepang kalah perang dunia kedua.
Dirinya hingga kini tak pernah menyambangi goa jepang tersebut.
"Enggak pernah kesana, takut soalnya. Terakhir kesana sudah lupa," katanya sembari ingat lagu berjudul "Kimigayo" yang wajib dinyanyikan saat sekolah dan latihan baris-berbaris dahulu. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribuncirebon.com dengan judul Kisah Eks Romusha Berusia 110 Tahun Asal Purwakarta, Dipaksa Bikin Jalan dan Gua Tanpa Makan Minum,
Goa Jepang di Purwakarta Mirip di Vietnam, Dihuni Kelelawar Hingga Kini Jadi Misteri
Sebuah lubang berukuran sedang di dinding tanah berwarna kuning serupa terowongan pertahanan gerilyawan Viet Cong di Vietnam.
Akses menuju goa dari obyek wisata Pasir Panyawangan, Kabupaten Purwakarta itu ditempuh 15 menit dengan berjalan kaki. Persis di mulut goa yang disebut warga setempat sebagai "Goa Jepang" terasa agak merunduk saat memasukinya.
Sedikit ke dalam, bau tanah kering terasa, dan udara pengap pun menyeruak tajam di rongga hidung. Pada tengah goa bisa untuk berdiri. Tak tampak pengunjung menyambangi goa tersebut.
Menurut pemuda setempat yang memandu Tribun Jabar, Ginanjar Saputra (24), di goa Jepang itu masih belum tereksplorasi hingga dilakukan penelitian.
Menurutnya, di dalam goa juga masih banyak kelelawar yang mendiami goa.
"Dulu 2001 saya pernah masuk bersama rombongan. Ke dalam pakai lampu petromak. Karena senter biasa atau lampu ponsel tak tembus cahaya. Sekarang untuk umum enggak bisa," ujar Ginanjar, kepada Tribun Jabar, di Kampung Pasir Muncang, RT.14/06, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta, Minggu (6/10/2019).
Goa ratusan tahun ini tetap menjadi rahasia.
Dia menuturkan hingga sekitar 2000-an seorang warga tengah berburu mencari hewan landak secara tiba-tiba menemukan goa di balik semak belukar.
"Namanya Pak Ade yang menemukan goa ini. Sekarang sudah tak tinggal disini. Pas tahu, langsung ke lari ke kampung untuk memberitahukan warga," katanya.
Dia mengatakan saat itu tak berselang lama, sejumlah warga segera melihat goa tersebut.
Sedangkan orang tua yang sudah sepuh tak berbicara banyak.
Meskipun mereka mengetahui dan menjadi pelaku sejarah.
Karena terikat sumpah untuk tidak menceritakan.
"Bahkan nenek saya yang sudah sepuh diam dan tersenyum saja. Hanya saja orang tua saat itu hanya berpesan jangan sampai goa itu diubah saja," ujarnya.
• Bayi Kembar Irish Bella Meninggal Dunia, Begini Kondisi Istri Ammar Zoni
• Gelandang Persib Bandung Omid Nazari Alami Cedera Mata, Bagaimana Kondisinya?
• Tips Aman Belanja Online dari Polisi
Hal serupa diceritakan warga setempat, Agus Saprudin (50) mengatakan dari penuturan lisan orang tua terdahulu bahwa goa sebelum dibangun oleh penduduk setempat zaman penjajahan jepang merupakan goa alam.
Lantas dijadikan untuk markas persembunyiaan berukuran tinggi 2,5 meter, lebar 3 meter lebih. Memiliki kamar sebanyak 9 ruang luas sekitar 5 meter.
"Belum sempat selesai dibangun. Karena jepang kembali, perang dunia kedua kalah. Tapi dari cerita dan kisah orang tua dulu sudah bersejarah dari zaman Belanda," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Misteri Goa Jepang di Purwakarta, Dihuni Banyak Kelelawar, Mirip di Vietnam