News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Respons Romli Atmasasmita Sikapi Berlakunya UU KPK Hasil Revisi

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita usai mengisi seminar nasional tentang anti korupsi di Mercure Ancol Hotel, Jakarta Utara, Sabtu (18/11/2017).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana sekaligus perumus Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, Romli Atmasasmita, menanggapi banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK menjelang diberlakukannya UU KPK hasil revisi, Kamis (17/10/2019).

Menurut Romli Atmasasmita OTT masih bisa dilakukan KPK meskipun UU KPK hasil revisi sudah berlaku.

Namun, jika OTT tersebut memerlukan penyadapan hal itu tidak bisa dilakukan tanpa seizin Dewan Pengawas yang belum dibentuk dan ditunjuk anggotanya hingga hari ini.

"Iya, tidak apa-apa. Itu kan pakai Undang-Undang lama. Kalau sudah dilembarnegarakan, diberi nomor, sudah tidak bisa lagi. Harus izin Dewan Pengawas dan itu harus dibentuk dulu," kata Romli Atmasasmita usai diskusi dengan mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bertajuk "Urgensitas UU KPK dan KPK dalam Kacamata Hukum" pada Kamis (17/10/2019).

Baca: Ramai Isu Kabinet Kerja Jilid 2, Ini Empat Kriteria Menteri Menurut Jokowi

Dalam diskusi, ia pun sempat bertanya kepada mahasiswa terkait dengan anggota dan cara kerja Dewan Pengawas KPK.

Karena mahasiswa tidak ada yang bisa menjawab, ia pun meneruskan kalimatnya yang menegaskan kalau perlunya mengetahui anggota dan cara kerja Dewan Pengawas KPK tersebut.

Ia pun menegaskan akan menentang Dewan Pengawas KPK jika memang pekerjaannya bermasalah.

Menurutnya, masyarakatlah yang akan langsung mengawasi kinerja Dewan Pengawas KPK.

"Setelah kita tahu Dewan Pengawasnya, baru kita kritik cara kerjanya. Sudah tahu cara kerjanya Dewan Pengawas belum? Bagaimana Dewan Pengawas menagawasi KPK, itu yang kita baca dulu. Kalau itu bermasalah, kita tentang. Saya kemudian terpikir, siapa yang mengawasi Dewan Pengawas? Ya kita. Kalian semua," kata Romli.

Dalam paparannya, Romli pun mengatakan telah memeriksa seluruh pasal dalam Undang-Undang KPK hasil revisi yang kini telah diberlakukan.

Baca: Gadis 15 Tahun di NTT Pulang Sekolah Dijemput Paksa Saudaranya, Lalu Dirudapaksa di Dalam Mobil

Baca: Ashanty Derita Autoimun, Reaksi 4 Anak Anang Hermansyah Saat Tahu Ibunya Sakit, Arsy: Bunda Sehat Ya

Menurutnya, dari keseluruhan pasal tersebut tidak ada yang mengurangi kewenangan KPK meski dibentuk Dewan Pengawas KPK.

Ia menjelaskan, Dewan Pengawas KPK nantinya satu di antara tugasnya akan mengawasi dan memberikan izin terkait proses penyadapan yang dilakukan KPK terhadap penyelenggara negara.

Itu karena menurutnya, penyadapan yang dilakukan KPK selama ini merupakan satu di antara masalah yang dimiliki KPK.

Baca: Kata Wakil Ketua MPR soal Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih: Ini Konsolidasi Demokrasi

Sejumlah masalah yang ia sebutkan antara lain selama ini menurutnya KPK pernah melakukan penyalahgunaan terhadap kewenangan untuk melakukan penyadapan tersebut.

Selain itu, ia juga mempermasalahkan terkait negara tempat KPK membeli alat penyadap tersebut.

Karena menurutnya, negara tempat KPK membeli alat penyadapan tersebut tidak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia sehingga hasil sadapannya rentan disalahgunakan.

"BAIS, BIN, itu tidak punya yang secanggih itu. Itu kenapa perlu ditanya, siapa yang disadap, berapa lama penyadapannya," kata Romli.

Kerdilkan agenda pemberantasan korupsi

Undang-undang Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) hasil revisi resmi berlaku hari ini, Kamis (17/10/2019).

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai dengan diterapkannya UU KPK hasil revisi tersebut akan memperlemah dan mengkerdilkan agenda pemberatansan korupsi.

"Penting untuk ditegaskan bahwa seluruh Pasal yang disepakati oleh DPR bersama pemerintah dipastikan akan memperlemah KPK dan mengembalikan pemberantasan korupsi ke jalur lambat," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana lewat keterangan tertulisnya, Kamis (17/10/2019).

Sebagai contoh, kata Kurnia, pembentukan Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih Presiden dan memiliki wewenang memberikan ijin penindakan perkara rawan intervensi eksekutif.

Baca: Harta Kekayaan Mulan Jameela Capai Rp 15,5 Miliar, Lebih Besar dari Desy Ratnasari, tapi Punya Utang

Baca: Aksi Pamer Kemaluan Terjadi di Depok, Pelaku Melakukannya di Dalam Angkot

Baca: Promosi Toto pun Sampai Membawa Toilet di Atas Motor Berjalan 1400 Kilometer

Demikian pula, penerbitan SP3 dalam jangka waktu 2 tahun apabila perkara tidak selesai akan berpotensi menghentikan perkara besar yang sedang ditangani KPK.

"Banyak pihak yang berdalih bahwa dalam UU KPK yang baru terdapat pasal peralihan terkait pembentukan Dewan Pengawas. Namun, harus dipahami, bahwa cepat atau lambat Dewan Pengawas akan terbentuk. Jadi, pernyataan yang menyebutkan terkait dengan pasal peralihan itu hanya dalih tanpa dasar sama sekali," ujar Kurnia.

Kurnia juga menyebut untuk usia minimal Pimpinan KPK baru pun belum selesai dari perdebatan.

Dalam draft UU KPK yang selama ini beredar disebutkan bahwa usia minimal Pimpinan KPK dapat dilantik adalah 50 tahun.

"Sedangkan salah satu Pimpinan KPK terpilih yaknk Nurul Ghufron belum sampai batas usia minimal UU KPK baru. Tentu ini menjadi kekosongan hukum yang harusnya dapat diisi oleh Perppu," kata dia.

Selain dari substansi, lanjut Kurnia, persoalan formil pun masih menjadi sorotan publik.

Mulai dari tidak masuk prolegnas prioritas 2019 dan tidak dihadiri kuorum paripurna DPR saat pengesahan UU KPK yang baru.

Demikian pula, KPK secara institusi juga tidak pernah dilibatkan pada proses pembahasan.

"Kejadian diatas memberikan gambaran bahwa dua cabang kekuasaan, baik eksekutif dan legislatif memiliki niat untuk mengkerdilkan agenda pemberantasan korupsi," kata Kurnia.

Sedih KPK dilemahkan

Dalam hitungan jam, Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi akan mulai berlaku.

Sebelumnya DPR sudah mengesahkan UU KPK hasil revisi pada 17 september 2019..

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan revisi UU KPK merupakan pelemahan terhadap lembaga antirasuah.

Satu di antara hal yang ia sorot ialah keberadaan Dewan Pengawas KPK.

Baca: Bareskrim Polri Indikasikan Fintech Ilegal Bisa Jadi Sumber Pendanaan Terorisme

Baca: Mantan Direktur Krakatau Steel Wisnu Kuncoro Dituntut 2 Tahun Penjara

Baca: Ali Mochtar Ngabalin Garuk-garuk Kepala Sikapi Isu Fadli Zon Akan Jadi Menteri Jokowi

"Saya sedih karena terjadilah musibah KPK dilemahkan karena pasal-pasal yang ada mulai dari syarat menyadap harus izin dewan pengawas dan juga izinnya tertulis," kata Mardani Ali Sera di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/10/2019).

Menurutnya, KPK seharusnya dapat diperkuat tanpa adanya revisi UU KPK.

Karena itu, politikus PKS ini mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menerbitkan Perppu KPK sebelum undang-undang hasil revisi berlaku mulai pukul 00.01 nanti.

"Saya pribadi tetap berpendapat, Pak Presiden perlu mengeluarkan Perppu, sebelum masa berkahir (Undang-Undang KPK) 16 Oktober pukul 23:59," ujar Mardani.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini