News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sumpah Pemuda

Di Balik Lahirnya Sumpah Pemuda, Ada Satiman, Penggerak Tri Koro Dharmo

Penulis: Suci Bangun Dwi Setyaningsih
Editor: Daryono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sumpah Pemuda 28 Oktober

TRIBUNNEWS – Tanggal 28 Oktober menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia, dalam mengupayakan kemerdekaan.

Pada 28 Oktober diperingati Hari Sumpah Pemuda dan diketahui lahir pada 28 Oktober 1928.

Kini, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-91, Senin (28/10/2019).

Banyak sosok dan organisasi pemuda yang muncul dalam perjalanan menuju lahirnya Hari Sumpah Pemuda.

Para pendiri Jong Java, sebelumnya Tri Koro Dharmo. Satiman Wirjosandjojo, pendiri dan ketua umum pertama Jong Java, menggagas pentingnya pendirian perguruan tinggi Islam modern. (Foto: Museum Sumpah Pemuda)

Satu di antaranya adalah Organisasi Tri Koro Dharmo.

Sosok penggagas dan pemprakarsanya adalah Satimin.

Baca: Sumpah Pemuda Jadi Momentum Prima Pemersatu Bangsa

Baca: Presiden Jokowi Senang Peresmian Jembatan Youtefa Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda

Dilansir dari Kompas.com, tujuh tahun setelah berdirinya Budi Oetomo pada 1908 misalnya, para pemuda mulai bangkit meskipun masih dalam suasana kesukuan.

Bangkitnya pemuda didasari seorang bernama Satiman yang memiliki semangat berkobar yang menjadi motor penggerak bagi pergerakan pemuda.

Tri Koro Dharmo menjadi wadah awal dari perhimpunan pemuda.

Kelak, para pemuda menyatukan tekadnya demi Indonesia dalam sebuah momentum yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Profil Satiman Wirjosandjojo

Dilansir dari website https://www.uinjkt.ac.id/, pendiri Tri Koro Dharmo itu bernama Satiman Wirjosandjojo.

Ia merupakan kakak Soekiman Wirjosandjojo.

Tak seperti adiknya, tak banyak yang mengulas profil hidup dan kontribusinya.

Buku-buku sejarah justru banyak mengisah sepak terjang politik perjuangan adiknya, Soekiman Wirjosandjojo (1898-1974).

Selain tokoh Masyumi, Soekiman (adiknya) memang berhasil mencapai puncak karir politik sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-6 yang memimpin Kabinet Soekiman (27 April 1951 – 3 April 1952).

Meski demikian, kontribusi kebangsaan Sang Kakak tidak kalah gemerlap dari adiknya.

Sebab, kendati tak mencapai karir politik tertinggi, namun Satiman-lah yang berdiri di baris terdepan kebangkitan nasionalisme pemuda Hindia Belanda.

Saat masih duduk di bangku kuliah kedokteran STOVIA, Satiman yang acapkali menakali aturan-aturan sekolah yang diskriminatif pada pelajar pribumi, berinisiatif mendirikan perhimpunan pelajar Hindia bernama Tri Koro Dharmo.

Bersama dua kawan karibnya, Kadarman dan Soenardi, Satiman mendirikan Tri Koro Dharmo.

Ia sendiri menjadi ketua umum pertama himpunan pemuda pelajar yang resmi didirikan 7 Maret 1915 tersebut.

Sejumlah alasan kebangsaan melatarbelakangi kemunculan Tri Koro Dharmo yang kala itu menyempit pasca berkuasanya kaum tua dalam organisasi Boedi Oetomo sehingga membawa organisasi terakhir tetap Jawa sentris (Abu Hanifah, 1975).

Baca: Peringati Hari Sumpah Pemuda, Ribuan Pelajar di Surabaya Kirab Bendera Sepanjang 2.000 Meter

Baca: Di Bulan Peringatan Sumpah Pemuda, Tim Bulu Tangkis Indonesia Sumbang Emas di BWF Tour

Organisasi kepemudaan yang mana setiap anggotanya berasal dari siswa sekolah menengah di Jawa dan Madura. Organisai atau perkumpulan ini dinamakan Tri Koro Dharmo.

Tri Koro Dharmo

Dilansir dari buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2013) melalui Kompas.com, ada bebrapa informasi terkait organisasi Tri Koro Dharmo.

Organisasi tersebut merupakan perkumpulan pelajar yang berdiri pada 7 Maret 1915.

Anggotanya didapat dengan menjaring pelajar bumiputra yang berasal dari perguruan dan sekolah-sekolah yang ada di Jawa.

Pelajar dari Jawa dan Madura menjadi inti dari perkumpulan ini.

Tri Koro Dharmo yang secara bahasa memiliki makna tiga tujuan mulia (sakti, bukti, bakti), menginginkan sebuah perubahan dari cara pandang pemuda akan kondisi yang terjadi di Indonesia.

Dikarenakan terdapat sebuah desakan akan keanggotaan Tri Koro Dharmo lebih luas, maka nama dari perkumpulan ini diubah menjadi Jong Java.

Seluruh pelajar dari Jawa, Madura, Bali dan Lombok bisa bergabung dalam wadah ini.

Berbagai kongres akhirnya dilakukan untuk menyempurnakan dan menyebarkan ke banyak kalangan akan pentingnya peran dari pemuda.

Pemberantasan buta huruf menjadi sasaran dari organisasi ini agar pemuda bisa melihat bebas dunia luar.

Sebenarnya, sudah ada perkumpulan pemuda sebelum Tri Koro Dhamo dengan nama Perhimpunan Indonesia.

Namun, organisasi yang dibentuk pada 1908 itu hanya sebatas perkumpulan mahasiswa yang belajar di Belanda dan belum menunjukan peran aktifnya di Indonesia.

Situasi kemudian berubah saat sejumlah tokoh masuk ke dalam Perhimpunan Indonesia, misalnya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada 1913.

Kelak, muncul nama tokoh lain yang dihasilkan Perhimpunan Indonesia dan tercatat berperan penting dalam kemerdekaan, misalnya Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta.

Barulah setelah para mahasiswa Perhimpunan Indonesia itu kembali ke Tanah Air, mereka mulai berhimpun dan bergerak demi kemerdekaan Indonesia.

Para pemuda ini mulai menyadari akan tujuan bersama dan mengurangi perpecahan yang diakibatkan perbedaan mereka yang berasal dari beraneka suku bangsa dan agama.

Dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974) yang diterbitkan oleh Museum Sumpah Pemuda, setelah Tri Koro Dharmo atau Jong Java mulai muncul perkumpulan pemuda kedaerahan lainnya.

Selain Perhimpunan Indonesia, ada juga Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islaminten Bon, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan masih banyak lainnya.

Mereka merasa membutuhkan dukungan untuk bisa bersatu demi kemerdekaan.

Baca: Sumpah Pemuda Jadi Momentum Prima Pemersatu Bangsa

Muncul inisiatif untuk bisa menggabungkan dari para perhimpunan pemuda ke dalam sebuah musyawarah besar.

Kongres Pemuda I akhirnya dilakukan pada 30 April sampai 2 Mei 1926.

Ceramah-ceramah yang diberikan dalam kongres itu belum bisa menyatukan persatuan Indonesia.

Masih adanya ego kedaerahan yang kuat dari tiap kelompok.

Kemudian, mereka sadar bahwa ego kedaerahan itu akan mempersulit Indonesia untuk bersatu dan berjuang melawan penjajahan.

Pada 27 sampai 28 Oktober 1928, kebanggaan dan rasa senasib para pemuda sebagai anak bangsa menjadikan mereka berkumpul lagi.

Kongres Pemuda II digelar, dengan kepanitiaan dari berbagai perkumpulan.(*)

(Tribunnews.com/Suci Bangun Dwi Setyaningsih/Kompas.com/Aswab Nanda Prattama)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini