Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim konstitusi Wahiduddin Adams, meminta tudingan soal proses pembentukan Undang-Undang KPK hasil revisi yang dinilai catatan formil agar dibuktikan.
Hal ini disampaikan Wahiduddin pada saat mendampingi ketua panel hakim konstitusi, Anwar Usman, menyidangkan pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang KPK hasil revisi pada Rabu (30/10/2019).
"Nanti saudara uraikan karena pembentukan itu ada tahapan-tahapan, ada persiapan, perencanaan, pembahasan, pengesahan, pengundangan maupun penetapan," kata Wahiduddin kepada pemohon uji materi, seperti dilansir laman MK, Rabu (30/10/2019).
“Saudara harus jelaskan, ketika persiapan apa cacat formilnya? Termasuk juga ketika pembahasan yang ada rapat-rapatnya. Bagaimana posisi rapatnya? Di sini, saudara hanya mengutip berita koran,".
Permohonan diajukan oleh Gregorius Yonathan Deowikaputra, pengacara. Permohonan teregistrasi dengan nomor 62/PUU-XVII/2019.
Baca: Kisah Viral Wanita Meninggal Karena Kelelahan Resepsi, Suaminya Jadi Duda Seminggu Setelah Nikah
Gregorius menilai, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK, sebagaimana dilansir berbagai media, telah dilakukan tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan masyarakat.
Baca: Kisah Heroik Supriadi, Menolong Istri yang Dililit Ular Piton 6 Meter dan Nyaris Dimangsa
Menurut dia, masyarakat sulit mengakses risalah rapat di laman resmi DPR terkait pembahasan mengenai revisi UU KPK.
Baca: Viral, Calon Istri Cantik Ajudan Menteri Pertahanan Prabowo: Mirip Artis Tamara Bleszynski?
Dengan adanya fakta tersebut, lanjutnya, jelas UU Perubahan Kedua UU KPK tidak dilandasi adanya asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta keterbukaan yang merupakan asas-asas wajib yang harus diterapkan oleh DPR dalam melakukan pembentukan suatu undang-undang sebagaimana digariskan dalam Pasal 118 Tata Tertib DPR.
Baca: Di-deadline 100 Hari Harus Terbit Perppu KPK, Mahfud MD: ICW Itu Siapa?
“Dilanggarnya asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dalam pembentukan UU a quo terbukti dengan banyaknya penolakan oleh masyarakat luas," kata Gregorius.
Dia menjelaskan, adanya penolakan tersebut telah menjadi bukti nyata bahwa UU a quo tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan masyarakat luas dan asas keterbukaan yang telah dilanggar tersebut telah nyata karena tidak terbukanya akses publik untuk dapat memberikan masukan dan usulan atas undang-undang tersebut
Adapun, dalam petitum-nya, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelum menutup persidangan, Anwar Usman menyampaikan agar pemohon menyempurnakan permohonan selambat-lambatnya diserahkan pada Selasa, 12 November pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK.