TRIBUNNEWS.COM - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (Perppu) atas revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai banyak tanggapan.
Jokowi diketahui telah memastikan tidak akan menerbitkan Perppu KPK dengan alasan menghormati uji materi UU KPK yang saat ini sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kita melihat, masih ada proses uji materi di MK. Kita harus hargai proses seperti itu," kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019), sebagaimana dilansir Kompas.com.
"Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan yang lain. Saya kira, kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan," imbuhnya.
Dirangkum Tribunnews, inilah fakta-fakta Jokowi dipastikan tidak menerbitkan Perppu KPK:
1. Pengaruh Mahfud MD
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, menilai adanya Mahfud MD di Kabinet Indonesia Maju tidak memberikan pengaruh cukup signifikan untuk Jokowi menerbitkan Perppu KPK.
Dikutip Kompas.com, keberadaan Mahfud MD di Kabinet Indonesia Maju justru menjadi harapan masyarakat agar Perppu KPK diterbitkan.
"Karena dulu waktu wacana tentang revisi itu bergulir, Mahfud MD memberi masukan kepada presiden dan beropini di publik bahwa perppu bisa dikeluarkan, ada harapan kami saat beliau masuk kabinet," ujar Jeirry.
"Secara hukum, beliau memberi argumentasi mengapa Perppu KPK itu bisa dikeluarkan. Tapi ternyata tidak bisa."
"Rupanya itu tidak cukup kuat untuk mempengaruhi Pak Jokowi mengeluarkan Perppu," tambahnya.
Lebih lanjut, Jeirry mengatakan keputusan Jokowi tidak menerbitkan Perppu KPK karena ada tekanan politik dari partai koalisinya yang terlalu kuat.
"Tapi, ini (tidak terbitkan Perppu) akan menjadi preseden buruk ke depan yang akan membuat orang melihat dan mengingat Jokowi tidak begitu fokus kepada upaya pemberantasan korupsi," tandas dia.
2. Keputusan Jokowi dinilai tidak tepat
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, keputusan Jokowi tidak menerbitkan Perppu KPK dengan alasannya ada uji materi UU KPK di MK, tak tepat.
Pasalnya, Feri menjelaskan, Presiden tetap berwenang menerbitkan perppu meski sebuah UU tengah diuji materi.
"Bisa (Presiden) mengeluarkan Perppu terus kemudian membatalkan UU KPK. Jadi sebenarnya tidak tepat alasan tidak mengeluarkan Perppu karena menghormati proses uji materi di MK," ucap Feri kepada Kompas.com, Jumat.
Feri menilai alasan mengenai uji materi di MK sengaja digunakan Jokowi untuk berlindung dari tuntutan masyarakat atas Perppu.
"Jadi bagi saya Pak Jokowi mencoba berlindung dari proses yang sedang berjalan di MK agar publik tidak marah pada dirinya."
"Padahal proses yang ada di MK bisa diselesaikan Pak Jokowi dalam waktu yang lebih cepat yakni dengan mengeluarkan Perppu," tutur dia.
Feri melanjutkan, pernyataan Jokowi akan menerbitkan Perppu KPK setelah aksi unjuk rasa mahasiswa besar-besaran, hanyalah untuk meredam kemarahan publik.
Pasalnya saat itu Jokowi akan dilantik untuk periode kedua pemerintahannya.
"Untuk meredam kemarahan itu Jokowi memerlukan sikap yang bisa meredam kemarahan publik itu sebelum proses pelantikannya," kata Feri, seperti dikutip dari Kompas.com.
Ia menambahkan, MK yang menjadi lembaga penguji UU sebenarnya diisi oleh orang-orang pilihan Presiden dan DPR, yang tidak lain mendukung revisi UU KPK.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin apabila terjadi hal-hal politis atas uji materi UU KPK.
"Bisa saja kita melihat ada ruang politik yang mungkin terjadi di MK. Pertama tentu bahwa memang Pak Jokowi adalah bagian dari revisi UU KPK, bahkan Pak Jokowi lah perancang revisi UU KPK itu karena tidak mungkin tidak ada keterlibatan Istana," tuturnya.
3. PPP mengapresiasi langkah Jokowi
Anggota Komisi III dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengapresiasi keputusan Jokowi tidak menerbitkan Perppu untuk mencabut revisi UU KPK.
"Komisi III DPR apresiasi Presiden Jokowi yang tidak terbitkan Perppu untuk batalkan atau ubah UU hasil revisi UU KPK (UU No. 19 Tahun 2019)," ujarnya, Jumat.
Mengutip Kompas.com, Arsul mengaku setuju dengan alasan Jokowi yang memilih menghormati proses uji materi di MK.
Disisi lain, Arsul menilai, tidak ada faktor kegentingan memaksa yang jadi landasan agar Presiden menerbitkan Perppu.
"Maka, tidak ada alasan kegentingan memaksa yang menjadi landasan untuk pengeluaran Perpu menurut UUD 1945," kata Arsul.
"Jadi, fakta bahwa KPK akan lumpuh atau bahkan mati langkah dalam kerja-kerja pemberantasan korupsinya, itu hanya bayangan-bayangan yang tidak menjadi kenyataan," lanjut dia.
Arsul kemudian menyarankan agar semua pihak melihat bagaimana KPK bekerja berdasarkan revisi UU KPK.
Termasuk setelah presiden membentuk Dewan Pengawas KPK.
"Seyogyanya semua pihak melihat lebih dulu bagaimana KPK berjalan menurut UU yang baru, termasuk melihat bagaimana setelah Dewan Pengawas terbentuk," ungkapnya.
4. Politisi PDIP menilai sikap Jokowi tepat
Masinton Pasaribu, anggota Komisi III dari Fraksi PDIP, menilai keputusan Jokowi tidak menerbitkan Perppu KPK adalah hal yang tepat.
Dilansir Kompas.com, Masinton mengatakan semua pihak harus menghormati proses konstitusional yang sedang berlangsung di MK.
Sepeti apa yang telah diungkapkan Jokowi sebelumnya.
"Biarkan hakim-hakim konstitusi di MK berkhidmat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya memproses dan memutus gugatan atau uji materi yang dilakukan warga negara terhadap revisi UU KPK."
"Tanpa ada tekanan dari pihak manapun, termasuk oleh KPK yang bertugas menjalankan Undang-undang," tutur Masinton, Sabtu (2/11/2019).
5. Respons KPK
Keputusan Jokowi tidak menerbitkan Perppu KPK tidak membuat KPK pusing kepala.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengaku penerbitan Perppu merupakan kewenangan seorang presiden.
Iapun mengaku pihaknya tidak mempermasalahkan keputusan Jokowi.
"Jadi terserah pada presiden akan memilih misalnya menyelamatkan KPK dan pemberantasan korupsi dengan menerbitkan perppu atau tidak, itu domain Presiden," terang Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jumat, sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Febri mengatakan, KPK saat ini fokus meminimalisasi potensi pelemahan KPK akibat UU yang telah direvisi.
"Kami tidak fokus pada hal tersebut saat ini, fokus KPK adalah meminimalisasi efek kerusakan atau kelemahan yang terjadi pasca revisi UU, itu yang kami kerjakan setiap hari melalui tim transisi," tegasnya.
Tim transisi yang disebut Febri telah mengidentifikasi ada 26 poin dalam revisi UU KPK yang berisiki melemahkan kerja KPK.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W, Kompas.com/Ihsanuddin/Deti Mega Purnamasari/Fitria Chusna Farisa/Ardito Ramadhan/Haryanti Puspa Sari/Kristian Erdianto)