News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dewan Pengawas KPK

Mengenal Sosok Artidjo Alkostar, Musuh Koruptor yang Disebut Layak Jadi Dewas KPK

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Artidjo Alkostar.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nama mantan Hakim Agung, Artidjo Alkostar disebut-sebut layak menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PUSAKA) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Pujiyono, mengatakan Artidjo dan Busyro Muqoddas layak menjadi anggota Dewan Pengawas KPK.

Menurut Pujiyono, Artidjo dan Busyro diketahui memiliki integritas, berpihak kepada pemberantasan korupsi, dan tidak memiliki resistensi terhadap pemberantasan korupsi.

"Untuk mengembalikan kepercayaan tersebut presiden harus dapat memilih orang yang memiliki kapabilitas dan aksebtabilitas yang tinggi. Jika tidak, dugaan bahwa KPK akan dilumpuhkah atau dimatikan semakin tinggi," katanya kepada Tribunnews.com, Selasa (5/11/2019).

Lalu siapaka sosok Artidjo?

Artidjo dikenal sebagai "musuh" para koruptor selama 18 tahun bertugas di MA.

Putusan Artidjo yang kerap menjatuhi koruptor dengan hukuman lebih berat daripada hakim pada tingkat pertama dan banding tidak hanya menjerakan koruptor, tetapi juga membela rasa keadilan publik.

Artidjo lahir di Situbondo, Jawa Timur, pada 22 Mei 1948 lalu.

Artidjo pensiun pada Selasa (22/5/2018) lalu.

Baca: Pakar Hukum: Artidjo Alkostar dan Busyro Muqoddas Layak Dipilih Jokowi Jadi Dewan Pengawas KPK

Artidjo pensiun, saat memasuki usia 70 tahun.

Artidjo memulai kuliah di Fakultas Hukum UII pada September 1967.

Selepas kuliah, Artidjo aktif di LBH Yogyakarta, kemudian mendirikan kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates.

Praktik hukumnya difokuskan pada pembelaan hak asasi manusia dan masyarakat terpinggirkan.

Pada awal tahun 2000, Artidjo resmi bergabung dan menjabat sebagai hakim agung kamar pidana di MA.

Selama 18 tahun mengabdi di MA, Artidjo mengaku telah memutus perkara sebanyak 19.708 berkas.

Baca: Istana Sebut Penunjukan Dewan Pengawas KPK Tidak Perlu Menunggu Putusan MK

"Saya mengabdi memberikan sedikit kontribusi kepada MA ini 18 tahun dan sudah menangani perkara sebanyak 19.708 berkas," kata Artidjo Alkostar saat sesi wawancara dengan awak media di media center Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018) lalu.

Artidjo diketahui telah menangangi sejumlah perkara selama menjabat sebagai hakim agung mulai dari perkara korupsi mantan Presiden Soeharto, Perkara kasus Bank Bali/BLBI dengan terdakwa Djoko S Tjandra.

Ia juga pernah menangani kasus perkara bom Bali serta perkara korupsi seperti Jaksa Urip Tri Guna, perkara Anggodo Widjoyo, perkara Gayus Tambunan serta salah satu perkara kasus pembunuhan yang salah satunya terdakwa mantan ketua KPK Antasari Azhar.

Artidjo juga dikenal 'galak' dalam memutus perkara korupsi yang melibatkan banyak orang mulai dari politisi, anggota DPR, hingga pejabat pemerintahan.

Baca: Istana Sebut Penunjukan Dewan Pengawas KPK Tidak Perlu Menunggu Putusan MK

Palu Artidjo juga telah memutus sejumlah perkara mulai dari mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaaq, Mantan Anggota DPR fraksi Partai Demokrat Anggelina Sondakh, Mantan Ketua MK Akil Mochtar, Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, hingga mantan Kakorlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo.

Bahkan, yang sempat menjadi kontroversi yakni menolak Peninjaunan Kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.

Meski sepak terjangnya banyak membuat para koruptor geram, Artidjo menyadari masih banyak kekurangan dalam menyelesesaikan perkara.

Artidjo: Jadi Hakim, Bermimpi Dapat Hadiah Saja Tidak Boleh

Artidjo mengatakan seorang hakim itu tidak boleh mendapatkan hadiah.

Bahkan, kata Artidjo, untuk bermimpi mendapatkan hadiah itu tidak dibolehkan.

"Kalau hakim itu tidak boleh bermimpi saja, mendapat hadiah itu ndak boleh, ndak boleh hakim," kata Artidjo saat sesi wawancara dengan awak media di media center Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018).

Hal itu disampaikan Artidjo saat mendapat pertanyaan hadiah yang pernah didapatkannya selama 18 tahun menjabat sebagai hakim MA.

Pria yang tepat pensiun pada Selasa (22/5/2018) ini juga bercerita bagaimana dirinya penah mendapatkan hadiah dari almamater kampusnya, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Bahkan, dia juga pernah mendapat sebuah penghargaan dari salah satu Kampus di Jakarta.

Semua itu jelas ditolaknya.

Baca: Muncul Isu Ahok Jadi Dewan Pengawas KPK di Tengah Maraknya Sorotan Terhadap APBD DKI

"Saya itu kan pernah mau diberi award dari UII dari almamater saya. Saya tolak, saya tolak. Ada juga dari Jakarta, tidak perlu saya sebutkan, memberikan award juga. Saya tolak juga," kata Artidjo.

Hakim yang pernah memutus perkara para koruptor ini membeberkan alasan kenapa menolak semua penghargaan itu.

Artidjo berpendapat, penghargaan seperti itu berpotensi mempengaruhi independensi seorang hakim.

Tak hanya itu, julukan atau penobatan verbal pun dia tolak demi independensi.

"Hakim itu harus bebas dari harapan-harapan yang berpotensi untuk mempengaruhi independensi. Penghargaan ini, sebutan ini. Jadi, harus bersih, harus independen," kata Artidjo.

Pengalaman Paling Berkesan

Artidjo teringat saat awal menjabat mendapatkan tugas untuk menangani kasus dugaan korupsi Presiden kedua RI Soeharto.

Meski saat itu masih menjabat hakim anggota, dia merasa hal itu merupakan pengalaman yang sangat berkesan.

Hal itu disampaikan Artidjo saat sesi wawancara dengan awak media di media center Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018).

"Waktu awal saya menjadi hakim agung tahun 2000-an saya pernah menangani perkara Presiden Soeharto. Waktu itu presiden Soeharto sakit, lalu ketua majelisnya itu Pak Syafiuddin (Kartasasmita) yang ditembak, kena tembak," kata Artidjo.

"Saya menjadi salah satu anggotanya dan waktu itu dianukan karena opini publik supaya berkas itu dikembalikan tetapi keputusan di majelis karena Pak Soeharto itu harus tetap diadili tersebut dengan diakhirkan. Jadi ada argumentasi yuridisnya itu, dan publik saya kira menyambut baik," tambahnya.

Selain itu, Artidjo juga membagikan pengalaman berkesan lainnya kepada awak media saat menangani kasus gugatan pembubaran Partai Golkar pada tahun 2001.

Meski begitu, Artidjo mengaku tidak mengalami kendala apapun dalam menangani perkara tersebut.

"Saya juga memegang tentang pembubaran Golkar. Pernah juga yang lain-lain. Kalau yang lain-lain itu saya kira ya tidak ada masalah. Presiden Soeharto ada saat ini apalagi presiden partai. Kan enggak ada masalah bagi saya. Tidak ada kendala apapun bagi saya," ungkap Artidjo.

Artidjo juga mengungkapkan bahwa di luar kasus Presiden Soeharto, kasus lainnya hanya kasus biasa dan kecil.

Termasuk pula kasus-kasus korupsi yang dia perberat hukumannya dalam kasasi, seperti kasus mantan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum dan mantan Kakorlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo.

"Jadi tetap saya selamanya mengadili Presiden Soeharto itu pengadilan yang lain-lain itu kecil aja," ujarnya. (tribunnews.com/ ferdinand/ frasiskus)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini