TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Ali Taher, tanggapi aksi bom bunuh diri di Polrestabes Medan pada Rabu (13/11/21019).
Menurutunya, pesta demokrasi April lalu belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat.
Di antaranya hubungan antara masyarakat, hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, sehingga menyebabkan persoalan seperti aksi terorisme.
"Bangsa ini agak terluka, pesta demokrasi kita kemarin belum tuntas untuk menyisihkan persoalan-persoalan hubungan antara warga negara dengan warga negara atau dengan pemerintah," kata Ali dilansir dari YouTube Najwa Shihab (13/11/2019).
Baca: Achmad Baidowi Sebut Pemerintah Telah Kecolongan Terkait Bom Bunuh Diri di Medan: Ini Tak Main-main
Baca: Teriakkan Saksi Setelah Bom Bunuh Diri Meledak di Mapolrestabes Medan, Buat Warga Berlari Ketakutan
Ali juga menyatakan, ada keterkaitan antara kasus penusukan Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto (10/10/2019), dan aksi bom bunuh diri di Polrestabes Medan.
Keduanya menunjukkan, saat ini sasaran pelaku terorisme yakni lembaga hukum negara.
"Secara garis besar saya ingin memberikan pandangan bahwa mungkin ada persoalan kesenjangan sosial, ketidakadailan, ada perlakuan yang tidak pas untuk masyarakat tertentu," ungkap mantan Direktur Rumah Sakit Islam Jakarta Timur ini.
Selain itu, menurutnya faktor latar belakang pendidikan juga mempengaruhi aksi terorisme.
Hal ini artinya, perlu dilakukan pencarian benang merah terkait persoalan-persoalan tidak harmonis antara hubungan emosional, kultural, dan ideologi.
Sementara itu, menurut Pengamat Intelejen dan Keamanan Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta, kelompok terorisme saat ini berbeda dengan kelompok terorisme terdahulu.
Fenomena terorisme saat ini dilakukan oleh ISIS.
"Kelompok radikal yang berafiliasi dengan ISIS menganggap obyek atau musuh mereka adalah polisi," kata Stanislaus.
Menurutnya, aksi terorisme saat ini berbeda dengan kelompok Al Qaeda yang menyasar simbol-simbol Amerika, seperti Hotel JW Marriott.
Kelompok terorisme saat ini pun sebenarnya sudah diprediksikan.
"Paska kematian Abu Bakar al-Baghdadi (Pemimpin ISIS), pasti akan memicu balas dendam," katanya.
Pada awal tahun 2019, ISIS pernah terdesak, kemudian ada perintah untuk melakukan aksi-aksi amaliah di tempat masing-masing anggotanya.
Kemudian saat ini ketika pimpinan mereka mati, mereka akan lebih giat lagi melakukan aksi terorisme.
Aksi terorisme akhir-akhir ini cenderung dilakukan oleh individu, bukan kelompok.
Kasus penusukan Wiranto dilakukan oleh dua orang yang terdesak karena pimpinanya tertangkap di Bekasi, kemudian mereka lari ke Pandeglang dan melakuakan aksi kepada Wiranto.
"Pelakunya memang belum teridentifikasi apakah dia kelompok atau tunggal, tapi kalau dilihat aksinya tunggal," katanya.
Stanislaus menambahkan, justru yang berbahaya adalah pelaku individu.
Sebab, pelaku individu akan merencanakan aksinya sendiri dan melakukan aksinya sendiri, sehingga pemerintah akan kesulitan mendeteksinya.
Berbeda dengan pelaku kelompok yang akan membangun komunikasi lewat aplikasi percakapan, dan dapat mudah dideteksi.
"Akhir-akhir ini pelaku yang sukses melakukan aksi adalah sel-sel kecil yang dalam keluarga, kelompok-kelompok besar yang dulu kini menjadi keluarga seperti kasus di Surabaya dan penusukan Wiranto," paparnya.
Baca: Detik-detik Sebelum Ledakan Bom Bunuh Diri di Polrestabes Medan Tersangka Sempat Lawan Petugas
Baca: Anggota DPR F-PPP Tanggapi Peristiwa Bom di Medan, Achmad Baidowi: Pemerintah Sudah Kecolongan
Hal ini artinya pemerintah harus lebih wasapada lagi.
Tanggapan lainnya, datang dari anggota Komisi II DPR (Politik, Pemerintah Dalam Negeri dan Agraria) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Achmad Baidowi.
Menurut Baidowi, pemerintah sudah kecolongan.
"Kalau kami mengkritisi pemerintah, ya memang pemerintah kecolongan, pemerintah punya alat-alat canggih, harusnya perlu dilakukan pencegahan dari awal," kata Baidowi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) menyatakan, pemerintah enggan disebut kecolongan atas peristiwa bom bunuh diri di Polrestabes Medan.
Namun menurut Baidowi, pemerintah sudah kecolongan dan harus lebih meningkatkan kewaspadaan.
Sebab, di instansi pemerintah, khususnya kantor polisi yang seharusnya menjadi tempat yang steril dari terorisme justru malah mudah ditembus teroris.
"Pelaku sempat diperikasa dua kali, kok bisa lolos? Apakah tidak ada alat pendeteksi di kantor polisi? Ini kantor polisi, kalau kantor polisinya tidak aman, bagaimana dengan tempat-tempat lain?" papar Baidowi.
Menurutnya, peristiwa semacam ini lumrah jika mendapatkan sorotan dunia.
Sebab, peristiwa tersebut terjadi di instansi pemerintah yang harusnya mempunyai tingkat keamanan yang ketat.
"Ini bukan main-main, misal bom meledak di pasar, kita tidak dapat mendeteksi siapapun," ungkap pria yang mempeoleh dukungan 82.050 suara pada Pemilu 2019 ini.
Maka pemerintah perlu meningkatkan keberanian dalam melakukan tindakan pencegahan.
Pencegahan sejak awal harus dilakukan jika sekiranya ada tindakan yang berpotensi berbuat destruktif apalagi sampai meledakkan bom.
Undang-undang terorisme yang sudah direvisi juga seharusnya memantapkan langkah pemerintah dalam melakukan pencegahan, bukan malah menjadi keragu-raguan pemerintah.
Menurutnya, apabila peristiwa bom bunuh diri di Polrestabes Medan dikaitkan dengan jaringan terorisme internasional, maka teroris akan selalu memanfaatkan kesempatan dimanapun itu.
Teroris tidak akan lagi memanfaatkan momentum, seperti bulan puasa atau natal.
"Tidak ada momentum yang dibidik, momentum yang dibidik adalah kelengahan dari aparat kita, hari ini momentum apa? Natal dan tahun baru masih lama," kata Baidowi.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)