Warga menginginkan tempat tinggal yang dekat dengan tempat usaha mereka sebelumnya.
"Waktu obrolan dengan saya itu, dia (warga) meminta untuk tempat berusaha kembali, waktu itu sudah saya tawarkan juga ke rusun," katanya.
Ia kembali menegaskan, warga tidak menginginkan rusun sebagai pengganti tempat tinggal mereka, tapi warga menginginkan, tempat usaha mereka kembali.
"Jadi yang dibutuhkan bukan rusun, yang dibutuhkan tempat usaha," lanjut Syamsul.
Warga mengaku belum meninggalkan lokasi, karena merasa pemerintah belum menyediakan tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Warga yang terkena dampak penggusuran, Tia mengaku dirinya hanya bisa meratapi nasib rumahnya yang sudah dibongkar.
"Kegiatannya ya gimana mbak, sudah tidak ada tempat ya diam saja, meratapi nasib tempat yang sudah dibongkar begini," ungkapnya.
Tia mengatakan, hanya bisa mendirikan tenda untuk tempatnya tidur.
"Ya tidurnya seadanya, mendirikan tenda, gubuk kaya gini," katanya.
Anak-anak Tia tidak bisa berangkat sekolah setelah penggusuran, karena peralatan sekolah seperti sepatu dan seragam tidak bisa ditemukan di reruntuhan bangunan.
"Anak-anak semenjak dibongkar ya tidak sekolah, tidak masuk, karena sepatu dimana, seragamnya dimana gitu, jadinya nggak sekolah," ungkapnya.
Dirinya mengaku sudah tidak ada tempat tinggal lagi, terutama tempat untuk berteduh.
"Nggak ada lagi tempat berteduh, ya begini saja tidak ada tempat tinggal," ujar Tia.
(Tribunnews.com/Nuryanti)