TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mayoritas dukungan DPD I tingkat Provinsi Partai Golkar kepada Airlangga Hartarto pada Munas jika tanpa disertai dukungan DPD II tingkat Kabupaten/Kota hanya akan dianggap sebagai klaim semata.
Meski secara hierarki DPD I lebih tinggi dari DPD II, namun sebagai pemilik suara dalam Munas, posisi keduanya sama.
Bahkan DPD II jumlahnya jauh lebih banyak yakni 514, sementara DPD I hanya 34.
Demikian dikemukakan Direktur Job Politicoon Indonesia, Asep Gunawan dalam keterangannya, Selasa (19/11/2019).
"Oleh karenanya, ketika mayoritas DPD I menginginkan pemilihan ketum Golkar 2019-2024 dilakukan secara aklamasi namun tidak ada atau minim dari DPD II yang menginginkan hal serupa, patut diduga belum ada komunikasi antara pengurus partai di tingkat provinsi dengan pengurus di bawahnya di tingkat kabupaten/kota," kata Asep yang juga kandidat Doktor Komunikasi Politik Universitas Padjadjaran ini.
Baca: Pengamat: Aklamasi Saat Munas Golkar Tidak Salah, Tapi. . . .
Menurut dia, seolah DPD I sudah melakukan deal-deal politik dengan calon ketua umum tanpa sepengetahuan DPD II.
"Jika hal ini yang terjadi, DPD II seharusnya jangan mau dibawa masuk dalam skenario aklamasi yang dirancang oleh DPD I, karena peran dan suaranya akan ‘dikecilkan’ dengan hanya sekadar bagian dari DPD I," katanya.
Padahal, lanjut Asep, DPD II memiliki jumlah suara yang jauh lebih besar dan signifikan dibanding DPD I, jika pemilihan dilakukan secara suara terbanyak (voting).
"Voting akan membuat DPD II lebih independen dalam menyampaikan aspirasi dan dukungannya kepada calon ketua umum lewat kertas suara," katanya.
ebaliknya, menurut Asep, rencana aklamasi yang hanya mengikutsertakan DPD I, hanya akan membuat DPD II gigit jari karena aspirasi dan dukungannya tidak sampai, atau setidaknya tidak bisa disampaikan secara langsung.