TRIBUNNEWS.COM - Pahrur Dalimunthe, Pengacara First Travel, memberi pernyataan korban jemaah First Travel terlambat dalam keberangkatannya karena visa saat itu dihambat.
Pahrur menyatakan telah mengumpulkan kontrak-kontrak dan melihat perhitungan First Travel yang menurutnya masuk akal.
Ia juga senada dengan Jaksa Agung, sejak awal kasus ini memang bermasalah.
Pahrur menuturkan saat ia membuka bukti-bukti lama, terjadi mekanisme pembuktian yang terbalik di tingkat pertama yang tidak berjalan.
Sebagai kuasa hukum pihaknya telah menemukan bukti baru dan kekeliruan majelis hakim tingkat pertama.
Pihaknya juga menyatakan akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam dua minggu ke depan.
Pertama, pengembalian uang kepada jemaah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, kita menganggap kasus ini kasus perdata.
Pahrur juga mengajak mengingat kembali pernyataan hakim yang menyatakan clientnya (First Traver) melakukan penipuan.
"Jadi kalau kita buka putusan 1.400 halaman itu, hakim menyatakan bahwa client kami itu penipu antara lain karena dia mengiklankan tiket umrah 14.300 juta yang itu tidak mungkin," ungkapnya dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne pada Selasa (19/11/2019).
Menurut keterangan Pahrur, ahli saat itu bilang, 'Untuk ke Makkah itu butuh 22 juta'.
Kemudian dirinya sebelum datang ke studio ILC sempat mengecek Traveloka dan melihat tiket pergi-pulang ke Makkah seharga Rp 9.400.000.
Selanjutnya, ia menceritakan ahli yang kemudian jadi pertimbangan hakim saat itu bilang, 'Tiket ke Jeddah minimum 13 juta'.
"Client kami rata-rata mempunyai utang kepada penyedia jasa, tiket, catering, itu tidak ada yang lebih dari 20%," ujar Pahrur.
Permasalahan keberangkatan jemaah, dari keterlambatan berangkat hingga pihak First Travel akhirnya tidak bisa memberangkatkan, kini telah ditemukan jawabannya oleh Pahrur sebagai pengacara First Travel (Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan).
"Kalau kita lihat, jemaah-jemaah ini yang terlambat itu sesuai perjanjian antara jemaah dengan client kami, itu diperbolehkan reschedule selama 5 kali," terangnya.
Diketahui dari penjelasan Pahrur, saat kejadian Januari 2017 tidak ada satu jemaah yang di reschdule lebih dari 5 kali.
Dirinya pun berani diambil pembuktian dari 63 ribu jemaah.
Alasan keterlambatan, Pahrur mengatakan adanya visa yang bermasalah.
"Tapi kenapa terlambat? Visanya saat itu dihambat. Mungkin banyak di sini bapak dan ibu yang tahu kenapa akhirnya bisa dihambat," ujar Pahrur.
Ia mengabarkan, sebelumnya ada perjanjian dari First Travel dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyanggupi untuk memberangkatkan jemaah.
Karena secara keuangan saat itu masih sehat.
Jika sekian banyak jemaah merasa tertipu, apa alasan Pahrur mengatakan bahwa ini bukan penipuan, namun kasus perdata?
"Kalau kita lihat pertimbangan hakim, itu tertipunya karena harga. Dan saat itu harganya masuk akal," jawab Pahrur.
Namun, diketahui hal ini tidak bisa dibandingkan dengan Traveloka sekarang, sebab Traveloka itu memberi diskon dari uang tunai mereka.
"Makanya sejak awal kami masuk, ini bagaikan menegakkan benang basah. Karena kami kumpulkan kontrak-kontrak, kami lihat perhitungannya seperti apa dan ternyata memang masuk akal. Cuma kenapa terhambat? Ya karena masalah visa tadi," pungkasnya.
Diketahui, korban penipuan biro perjalanan umrah yakni PT. First Travel keberatan atas keputusan uang hasil lelang aset pemilik First Travel diserahkan kepada negara.
Pernyataan ini pernah disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri Depok.
Banyak korban menyesal dan menganggap keputusan itu dinilai merugikan dan tidak mengganti kerugian.
Melansir dari Kompas.com, sebelumnya diberitakan, Mahkamah Agung ( MA) menguatkan vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung dalam perkara First Travel.
Dalam putusan Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 Tahun 2019 yang dibacakan pada 31 Januari 2019, majelis hakim yang dipimpin Andi Samsan Nganro memutuskan agar barang bukti yang disita dalam perkara tersebut dirampas untuk negara.
Bunyi putusan Mahkamah Agung, Senin (18/11/2019)
"Bahwa sebagaimana fakta dipersidangan barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para terdakwa dan disita dari para terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana 'penipuan' juga terbukti melakukan tindak pidana 'pencucian uang' oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk negara."
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)