TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI fraksi PKS Hidayat Nur Wahid tak setuju dengan wacana penambahan masa jabatan presiden dalam amendemen UUD 1945.
Menurutnya, MPR periode 2019-2024 harus menyelesaikan rekomendasi MPR periode lalu yakni amendemen terbatas menghidupkan kembali haluan negara.
"Kalau menurut saya sebaiknya kita fokus saja kepada apa yang menjadi rekomendasi DPR/MPR pada periode lalu yaitu perubahan pada tingkat yang terbatas itu adalah kaitannya dengan masalah GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara)," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (23/11/2019).
Baca: Ketua MPR Bambang Soesatyo soal Isu Penambahan Masa Jabatan Presiden: Lihat sebagai Aspirasi
Ia mengungkapkan hingga saat ini belum ada usulan resmi yang diterima pimpinan MPR terkait penambahan masa jabatan presiden.
Namun, secara pribadi ia menegaskan menolak usulan tersebut.
"Saya sebagai pribadi tentu saya tidak setuju dengan wacana itu karena kan Undang-Undang Dasar ketentuannya adalah maksimal dua masa jabatan saja dan perubahannya tentu tidak bisa dilakukan dengan segala wacana tapi itu harus dilakukan oleh anggota MPR. Dan sampai hari ini tidak ada satu pun anggota MPR yang mengusulkan secara resmi kepada pimpinan MPR," ucapnya.
Baca: Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun Nilai Berlebihan Soal Isu Penambahan Masa Jabatan Presiden
Sebelumnya, wacana penambahan masa jabatan presiden mengemuka seiring dengan rencana MPR mengamendemen UUD 1945.
Wakil Ketua MPR RI Fraksi PPP Arsul Sani mengungkapkan fraksi Partai NasDem yang mengusulkan jabatan Presiden menjadi 3 periode dalam rencana amendemen UUD 1945.
"Ini kan bukan saya yang melayangkan. Ini ada yang menyampaikan seperti ini, kalau tak salah mulai dari anggota DPR dari Fraksi NasDem," ungkapnya.
Anggota Komisi III DPR RI itu menyebutkan PPP belum memikirkan usulan untuk mengubah masa jabatan presiden.
Saat ini, partainya itu ingin memperjuangkan rekomendasi MPR periode lalu, yakni menghidupkan kembali GBHN.