Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri soal radikalisme berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi Aparat Sipil Negara dan pekerja di sektor pemerintah.
Dia menegaskan, kebebasan berpendapat dan berekpresi bagi setiap Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"SKB ini tidak memiliki indikator dan definisi yang jelas, sangat rentan menjadi ajang fitnah dan bisa menyasar terhadap ASN yang kritis terhadap instansi dan pemerintahan secara umum," kata Isnur, saat dihubungi, Senin (2/12/2019).
Dia menjelaskan definisi cakupan radikalisme. Salah satunya adalah intoleransi. Menurut dia, intoleran dan radikalisme berbeda. Selain itu, kategori kebencian juga tak terukur. Sama halnya dengan ujaran Kebencian terhadap Pancasila, bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
"Pemerintah tidak jelas batasan dan indikatornya. Tidak jelasnya rumusan ini sangat berpotensial menjadi "karet" dan juga menjadi salah penanganan," kata dia.
Jika, melihat redaksi penulisan di SKB itu, kata dia, ada kekeliruan fatal secara konseptual, khususnya terkait kebencian terhadap pancasila, bhineka tunggal ika, dll. Standar larangan kebencian semestinya ditujukan kepada orang, bukan ideologi.
Selain itu, dia melihat, secara konsep, pelarangan ujaran kebencian sebagai bentuk pembatasan HAM yang sah dibuat sebagai perisai untuk melindungi individu atau kelompok rentan yang potensial menjadi korban kekerasan atau pelanggaran HAM.
Baca: Wapres Maruf Amin: SKB 11 Menteri Diperlukan untuk Tangkal ASN yang Dianggap Radikal
Baca: Tim Advokasi Novel Baswedan Akan Ambil Langkah Hukum Sikapi Laporan Dewi Tanjung
Baca: Tak Singgung Penegakan Hukum, YLBHI: Pidato Jokowi Cenderung Hilangkan Visi Negara
Baca: YLBHI Ungkap Motif Penyerangan Kantor LBH Medan
"Hal ini dirumuskan sebagai perlindungan kepada orang-orang dari tindakan diskriminasi, kekerasan, atau permusuhan, akibat penyebaran kebencian di dalam hukum pidana Indonesia. Adalah keliru ujaran kebencian ditujukan untuk melindungi individu apalagi institusi dan atribut kenegaraan," tuturnya.
Selanjutnya di poin 7, dia mengungkapkan, terdapat kalimat penyelenggaraan kegiatan yang "mengarah".
Dia menjelaskan, kata "mengarah" jelas sangat kabur dan tidak jelas pengaturan, sehingga akan menjadi ketentuan karet yang mudah disalahgunakan.
Dia juga melihat SKB itu tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.
Pihaknya hanya bisa menemukan UU Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaaan dan UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara serta sejumlah aturan turunannya.
Namun, dia menambahkan. tidak ada dasar dan payung hukum tentang definisi radikalisme dan intoleran yang konkret.
"Melalui SKB ini, dikhawatirkan akan menghancurkan semangat negara hukum dan penghormatana serta perlindungan hak asasi manusia yang merupakan semangat yang dibangun dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945," tambahnya.
Untuk diketahui, pemerintah di bawah 11 kementerian atau lembaga melakukan penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) penanganan radikalisme ASN di Grand Sahid Hotel, Jakarta, Selasa 12/11/2019 lalu.
Penandatanganan dilakukan oleh KemenPAN RB, Kemenko Polhukam, Kemendagri, Kemenag, Kemenkominfo, Kemendikbud, Kemenkumham, BIN, BNPT, BPIP, dan BKN, serta KPK dan KASN,
Melalui SKB itu diharapkan, para ASN tidak terpapar dari tindakan atau perbuatan, berupa radikalisme negatif yang meliputi intoleran, anti-pancasila, anti-NKRI, dan menyebabkan disintegrasi bangsa.