News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hukuman Mati Koruptor

Soal Wacana Hukuman Mati, Pengamat Sebutkan Alternatif Lain untuk Buat Jera Koruptor: Rampas Asetnya

Penulis: Inza Maliana
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melakukan aksi #SaveKPK 'Koruptor Makin Kotor, Kembali Tebar Teror' di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (15/1/2019). Dalam aksinya, mereka mendesak kepada Presiden Joko Widodo dan Pihak Kepolisian, dan KPK untuk melakukan penyelidikan terhadap berbagai teror yang mengancam pegawai KPK serta mendorong untuk dibuatnya tim khusus untuk memberikan perlindungan kepada pegawai KPK. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM - Baru-baru ini isu hukuman mati bagi koruptor kembali menyeruak ke publik.

Hal itu dikarenakan Presiden Joko Widodo menjawab pertanyaan dari satu di antara siswa SMKN 57 Jakarta, Senin (9/12/2019).

Bertepatan Hari Antikorupsi Sedunia, Jokowi mengatakan bahwa hukuman mati bagi koruptor bisa saja diberlakukan.

Lantas syaratnya adalah ada kehendak dari masyarakat.

Jawaban dari Presiden Jokowi membuat banyak pihak bereaksi.

Ada yang mendukung, ada pula yang mengecam.

Presiden Joko Widodo berbincang dengan siswa dan siswi saat menyaksikan Pentas #PrestasiTanpaKorupsi yang digelar di SMKN 57, Jati Padang, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019). Drama tersebut diperankan oleh tiga menteri, yaitu Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandi yang tampil bersama komedian Bedu dan Sogi. TRIBUNNEWS/HO/BIRO PERS (TRIBUN/HO/BIRO PERS)

Tribunnews.com mencoba menelusuri pendapat dari ahli mengenai hukuman mati bagi para koruptor.

Apakah lebih efektif untuk menakuti dan membuat jera bagi para pelaku korupsi?

Pengamat Politik yang juga Ahli Hukum Pidana dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riwanto memberikan jawabannya.

Menurut Agus, hukuman mati buka satu-satunya cara untuk memberantas tindak pidana korupsi.

"Kalau dilihat dari aspek sosiologis, sebenarnya hukuman mati itu bukan satu-satunya cara di dalam tindak pidana pemberantasan korupsi," ujar Agus.

Pasalnya, menurut Agus, setinggi-tingginya hukuman adalah yang bisa membuat jera pelaku.

"Karena sesungguhnya setinggi-tingginya hukuman adalah hukuman yang bisa menjerakan pelaku,"

"Nah lalu setinggi-tingginya hukuman itu apa, salah satunya adalah hukuman mati yang menjerakan," tutur Agus kepada Tribunnews.com, Selasa (10/12/2019).

Agus menuturkan ada cara lain untuk menjerakan koruptor selain dihukum mati, yaitu dicabut hak politiknya.

"Lalu apakah ada yang lain? jawabannya banyak. misalnya, cabut saja hak politik seseorang,"

Jika seseorang dicabut hak politiknya akibat korupsi maka ia kehilangan kebebasan untuk menjadi pejabat negara lagi.

"Jadi kalau orang melakukan tindak pidana korupsi, dicabut hak politiknya, dia tidak boleh ikut menjadi anggota DPR, tidak boleh menduduki jabatan-jabatan politik yang strategis, karena kalau dicabut akibatnya tamat karir politiknya," tutur Agus.

Mencabut hak politik bisa jadi alternatif lain, karena menurut Agus, koruptor rata-rata berprofesi sebagai pejabat dan politisi.

"Karena koruptor kan rata-rata itu dua profesinya, satu pejabat dan dua politisi," ujarnya.

Selain itu, Agus juga menuturkan cara yang kedua yakni memberantas aset berharganya.

"Adalagi cara lain, yakni berantas saja asetnya! Jadi kalau orang korupsi, misal hukumannya 20 tahun, berantas saja asetnya, kan selama ini tidak ada," tutur Agus.

Salah satu alasan koruptor tetap kaya raya meski di penjara, karena asetnya masih tersimpan.

Meski begitu, menurut Agus masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk membuat jera koruptor.

Dan itu sudah ada secara eksplisit di undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"Tapi instrumen itu masih banyak yang lain, walaupun itu secara eksplisit juga ada di Undang-undang Tipikor," ujarnya.

Agus pun menjelaskan melalui pasal 2 ayat 1 di UU Tipikor No. 20 tahun 2001.

Dalam UU itu, dikatakan sanksi pidana untuk tindak pidana korupsi itu minimal 4 tahun maksimal 20 tahun dengan denda minimal 1 miliar sampai 100 miliar.

"Jadi belum ada itu perampasan asetnya, di Pasal 2 ayat 1 di Tipikor No 20 tahun 2001," ujar Agus.

Namun menurutnya yang lebih penting adalah supaya bisa membuat para koruptor jera, bukan jenis hukumannya.

"Jadi sebenarnya tujuan penghukuman itukan jera ya biar orang tidak mengulangi lagi, bukan jenis hukumannya," ungkapnya.

(Tribunnews.com/Maliana)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini