TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengomentari soal mundurnya belasan pegawai KPK dalam waktu yang berdekatan.
Saut Situmorang menyatakan tak ingin ada lagi pegawai KPK yang mengundurkan diri dalam waktu dekat.
Diketahui, DPR telah menetapkan UU KPK baru dan UU tersebut resmi berlaku pada 17 Oktober 2019.
"Saya berharap jumlah itu tidak bertambah dan saya tidak bisa memastikan (pengunduran diri tersebut) karena memang UU KPK baru," ujar Saut dilansir YouTube TVOneNews, Minggu (15/12/2019).
Saut Situmorang tak bisa memastikan alasan mundurnya sejumlah pegawai KPK adalah karena terbitnya Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru.
Wakil Ketua KPK ini mengaku tak bisa memastikan lantaran para pegawai yang mengundurkan diri mengajukan alasan yang beragam pada pimpinan.
Saut melihat sepanjang empat tahun dirinya bertugas di KPK memang yang mengundurkan diri dengan jumlah cukup banyak terjadi pasca berlakunya UU KPK baru.
Namun, dirinya tak bisa memastikan hal itu sebagai penyebab utama.
Lebih lanjut, Saut berharap pengunduran diri 12 pegawai tersebut tak diikuti oleh pegawai lainnya.
"Ini kan kita nggak bisa pastikan karena UU KPK baru. Ya, semoga nggak bertambah, kemarin waktu acara Natal di KPK saya bilang jangan ada yang nambah," katanya.
Saut Situmorang menyebut ada beberapa alasan yang melatarbelakangi mundurnya 12 pegawai KPK.
Menurutnya, ada yang beralasan ingin lebih dekat dengan keluarga hingga ingin mengabdi di tempat lain.
"Begitu mengajukan pengunduran diri, mereka hanya bilang ingin dekat dengan keluarga, ingin mengabdi di tempat lain. (Mereka juga mengucapkan) Terimakasih ke KPK yang sudah memberi waktu untuk mengabdi," ujarnya.
Belakangan, polemik pemberian hukuman mati bagi terpidana koruptor di Indonesia masih terus menjadi perdebatan hingga hari ini.
Sebagian menganggap hukuman ini dapat menimbulkan rasa jera, namun ada juga yang menentangnya dengan berbagai alasan.
Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani menyebut, hukuman mati bagi koruptor sudah tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dilansir YouTube KompasTV pada Rabu (11/12/2019), Arsul Sani menyebut fraksi PPP mendukung jika pemerintah hendak melakukan revisi Undang Undang Tipikor.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menekankan bahwa sebenarnya sejak dulu, pelaku koruptor dapat dijatuhi hukuman mati dalam keadaan tertentu.
Ia menjelaskan, ada dua keadaan yang dapat diberikan hukuman mati bagi koruptor.
Yakni jika korupsi dilakukan di anggaran bencana alam dan saat negara mengalami krisis ekonomi.
"Jadi soal itu sebetulnya bukan hal yang baru. Hanya memang dalam praktik peradilan kita kan belum pernah ada terdakwa kasus korupsi yang dihukum mati. Yang ada baru hukuman penjara seumur hidup," ungkap Arsul Sani.
Namun, ia mengimbau agar tidak boleh terlalu emosional dalam menanggapi kasus korupsi dengan ancaman hukuman mati.
Meskipun kasus korupsi tersebut merupakan kejahatan serius atau luar biasa.
"Karena kalau kita lihat di dalam Undang Undang Tipikor, spektrum tindak pidana korupsi itu ada lebih dari 20. Mana yang bisa dijatuhi hukuman mati dan tidak, sementara ini sudah diatur di dalam Undang Undang Tipikor," kata Arsul Sani.
Tetapi segala keputusan menurutnya tetap di tangan hakim.
Kini, posisi DPR masih menunggu draft atau naskah akademik terhadap revisi ini.
Sebab, revisi Undang Undang Tipikor harus berawal dari pemerintah.
Ia menilai ada sejumlah hal yang belum dicantumkan dalam Undang Undang Tipikor.
Beberapa di antaranya ialah Treding of Influence atau perdagangan pengaruh dan korupsi di tingkat swasta.
Tak hanya itu, Arsul juga mendukung jika pemerintah akan memperluas aspek-aspek apa saja untuk dikenakan hukuman mati bagi para tersangka koruptor.
(Tribunnews.com/Indah Aprilin Cahyani)