News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

MK Nyatakan Syarat Calon Kepala Daerah Bebas Narkotika Konstitusional

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kondisi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2019)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya mantan Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Ahmad Wazir Noviadi, maju mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 terganjal.

Hal tersebut seiring dengan putusan Mahkamah Kontitusi (MK) menolak untuk seluruhnya terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

Sidang perkara Nomor 99/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Ahmad Wazir Noviadi tersebut, digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (18/12/2019).

Baca: PKS Dorong Revisi UU Pilkada untuk Perkuat Putusan MK Soal Ketentuan Mantan Koruptor Ikut Pilkada

Sidang pembacaan putusan MK dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.

Pada saat membacakan pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan meskipun persyaratan “bebas dari penyalahgunaan narkotika” untuk menjadi calon kepala daerah telah diatur dalam UU Pilkada.

Baca: Suparman Marzuki: Pengawasan Internal dan Eksternal Hakim MK Diperlukan

Namun, kata dia, mengingat besarnya ancaman bahaya yang ditimbulkan penyalahgunaan narkotika tersebut, maka “pemakai narkotika” tetaplah layak dimasukkan ke pengertian orang yang melakukan perbuatan tercela sebagaimana dimaksud UU Pilkada dan penjelasannya.

Sifat tercela tersebut menjadi tidak tepat jika tetap dilekatkan kepada;

a. pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan; atau

b. mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau

c. mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

Baca: KPU Sambut Baik MK Putus Cepat Uji Materi UU Nomor 10/2016

Untuk menghindari multitafsir dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penerapannya, kata dia, frasa “pemakai narkotika” harus dimaknai tidak mencakup atas tiga hal, diantaranya pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan.

Selain itu, menurut dia, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon mengenai frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Palguna.

Untuk diketahui, dalam perkara Nomor 99/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Ahmad Wazir Noviadi tersebut, Pemohon menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada yang berbunyi “... Tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keteranan catatan kepolisian,” berpotensi merugikan hak konstitusionalnya.

Baca: MK Putuskan Napi Eks Koruptor Bisa Maju Pilkada, Syarat Jeda 5 Tahun hingga Harus Ungkap Jati Diri

Pemohon merupakan mantan Bupati Ogan Ilir tersebut mendalilkan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.16-463 Tahun 2016 tentang Pengangkatan Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan tanggal 11 Februari 2016, Pemohon dilantik dan diambil sumpah jabatan pada 17 Februari 2016.

Namun kemudian, pada 18 Maret 2018, Pemohon diberhentikan dari jabatannya.

Pemohon pun diberhentikan secara tetap berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.16-3030 Tahun 2016 tertanggal 21 Maret 2016 karena Pemohon berstatus sebagai tersangka penyalahgunaan narkotika.

Selanjutnya, berdasarkan vonis Pengadilan Negeri Palembang memerintahkan Pemohon menjalani pengobatan melalui rehabilitas selama enam bulan.

Sejak 18 Maret–13 September 2016 Pemohon telah menjalankan proses rehabilitasi medis dan sosial di Pusat Rehabilitasi Narkoba Badan Narkotika Nasional Lido, Bogor, Jawa Barat dan RS Ernaldi Bahar Palembang, Sumatera Selatan.

Pemohon berkeinginan mencalonkan diri dalam Pilkada Periode 2021-2026.

Namun, keinginan tersebut terhalang akibat pemberlakukan norma tersebut.

Untuk itu, melalui petitum, pemohon memohonkan kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat kecuali dimaknai “tidak pernah melakukan perbuatan tercela, kecuali bagi pemakaian narkotika yang sudah dinyatakan sembuh, secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik yang bersangkutan pernah dipidana karena memakai narkotika”.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini