TRIBUNNEWS.COM - Artis Sophia Latjuba menilai Ujian Nasional (UN) seperti global warming.
Dalam acara Mata Najwa Trans7 yang kemudian diunggah kanal YouTube Najwa Shihab, Rabu (18/12/2019), Sophia Latjuba menyebut UN harus segera dihapus.
Tak hanya UN, bagi Sophia Latjuba proses menuju UN juga menimbulkan masalah tersendiri.
Menurut Sophia Latjuba, banyak anak-anak yang telah menjadi korban karena stres menghadapi UN.
"UN itu merusak, bukan UN nya saja, prosesnya menuju, satu tahun mereka hanya bimbel, bimbel, bimbel.
Stres, stres, stres, setiap hari ada korban," ungkap Sophia Latjuba.
Sophia Latjuba menyatakan sudah tidak ada waktu lagi, penghapusan UN harus segera dilaksanakan.
"Ini harus segera dihapus, sama seperti global warming, sesuatu yang harus segera dilaksanakan, tidak tahun depan," tegas Sophia Latjuba.
Lebih lanjut, Sophia Latjuba menjelaskan, pembahasan soal pendidikan adalah sebuah proses pembentukan pribadi manusia dan banyak unsur yang harus dilihat.
"Ada intelektualitas, ada sosial, ada moral, ada fisik, ada spiritual dan ini adalah sebuah proses holistik, integral," paparnya.
Sophia Latjuba berujar, UN hanya soal pilihan ganda yang dibuat oleh sekelompok orang yang menilai anak-anak dari Sabang sampai Merauke.
Dengan latar belakang dan guru yang berbeda-beda.
"Orang-orang yang memberikan UN ini bukan guru juga mungkin, yang tidak tahu bagaimana menghandle anak, betapa stres itu menghandle anak di kelas," paparnya.
"Jadi menurut saya asessmen itu is classroom job, is a teacher job, gitu."
"Jadi ya menurut saya, ujian nasional itu hanya dibuat karena kemalasan pemerintah aja," ujar Sophia Latjuba.
Pengamat Pendidikan Sebut Penghapusan UN Langkah yang Baik
Pengamat Pendidikan, Budi Trikorayanto menilai penghapusan Ujian Nasional (UN) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim adalah langkah yang lebih baik.
Menurut Budi Trikorayanto, perubahan yang dilakukan sudah melalui kajian-kajian dan pasti akan lebih baik.
"Karena ini dalam rangka memerdekakan guru, memerdekakan pendidikan," ujar Budi Trikorayanto.
Pernyataan tersebut disampaikan Budi Trikorayanto dalam acara Sapa Indonesia Malam yang kemudian diunggah oleh kanal YouTube KompasTV, Rabu (11/12/2019).
Budi Trikorayanto mengungkapkan UN selama ini telah membuat disorientasi pendidikan di Indonesia, guru hanya fokus pada UN.
"Apalagi ketika UN menjadi tolak ukur kelulusan dan itu menjadi politik pendidikan daerah ya, target 90 persen harus lulus," jelas Budi Trikorayanto.
Budi Trikorayanto mengatakan penghapusan UN adalah kebijakan pendidikan yang tambal sulam.
"Harusnya melihat UN itu sebagai standar penilaian, kalau mau membebaskan guru itu bukan hanya masalah UN,
standar-standar pendidikan nasional itu sangat membelenggu sebenarnya," ungkapnya.
Meski demikian, Budi Trikorayanto menilai langkah penghapusan UN merupakan langkah yang sangat baik untuk membenahi pendidikan di Indoensia.
Komisi X DPR Sebut Harus Ada Alat Ukur yang Jelas ketika Ujian Nasional Dihapus
Anggota Komisi X DPR Fraksi PKS, Ledia Hanifa turut berkomentar terkait kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang menghapus Ujian Nasional (UN).
Diketahui, pada 2021 UN akan diganti dengan assesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Menurut Ledia Hanifa, ketika UN dihapus seharusnya ada evaluasi yang menyeluruh serta harus ada alat ukur yang jelas untuk menggantikan UN.
Tanggapan tersebut disampaikan Ledia Hanifa dalam acara Sapa Indonesia Malam yang kemudian diunggah kanal YouTube KompasTV, Rabu (11/12/2019).
"Ya memang harus dilakukan evaluasi menyeluruh, ini kalau diubah, diubahnya evaluasi yang seperti apa harus clear dulu," ujar Ledia Hanifa.
Ledia Hanifa menilai jika yang dipakai untuk alat ukur kemudian assesmen kompetensi minimum dan survei karakter, itu sebenarnya alat ukur yang biasa dan memang harus dilakukan.
"Ini sebenarnya alat ukur biasa dan harus dilakukan, problem-nya guru kita punya kemampuan itu atau tidak," kata Ledia Hanifa.
Lebih lanjut, Ledia Hanifa menjelaskan setiap pendidikan memang perlu evaluasi hanya saja alat ukurnya perlu disepakati lebih dulu.
"Menurut saya bagian pertama yang harus dilakukan adalah assesmen di awal," terangnya.
Menurut Ledia Hanifa, assesmen kompetensi seharusnya dimulai dari tiga tahun pertama anak duduk di sekolah dasar untuk membekali anak-anak learning how to learn.
"Ketika siswa itu belum masuk, dia di asses dulu kemampuan dasarnya kemudian perilaku dan segala macam, saya rasa pertiga tahun cukup," jelas Ledia Hanifa.
Sementara itu, Ledia Hanifa juga menyoroti persoalan UN dipakai untuk mengukur kognitif itu tidak tepat.
Karena seharusnya ujian nasional menjadi bahan evaluasi pembelajaran bukan evaluasi pada siswa.
"Jadi bisa dibilang sebenarnya evaluasi untuk sekolah dan guru, apakah benar mereka sudah memberikan pendidikan yang tepat atau tidak," ungkap Ledia Hanifa.
Ledia Hanifah menilai ada keanehan dalam ujian nasional ditingkat SMA yang menggunakan pendekatan high order thinking skills.
Namun, sepanjang pendidikan yang mereka terima tidak pernah mendapatkan bagaimana melakukan dan memikirkan sesuatu yang dengan kritis melalui pendekatan high order thinking skills.
Ledia Hanifa mengatakan jika sudah dua tahun ini, UN tidak menentukan kelulusan namun hanya bagian dari evaluasi.
"Cuma problem nya adalah itu dipakai benar atau tidak oleh pemerintah untuk menjadi bahan evaluasi, pada kenyataannya kan tidak," terang Ledia.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)