Lebih lanjut, dia menambahkan, saat ini adanya fenomena yang dianggap merusak sistem karir yang telah dibangun dalam institusi polri.
Yakni, hirarki, senioritas dan sistem urut kacang makin ditabrak tabrak serta dihancurkan.
"Kapolda Papua Barat misalnya, tiba tiba bisa jadi Assop Polri. Karorenmin Bareskrim bisa jadi Asrena. Jabatan Asisten sepertinya makin tak berharga dan tak bergengsi lagi. Dan tidak perlu diisi oleh perwira yang berpengalaman. Padahal dulu diisi para jenderal senior yang sudah punya pengalaman malang melintang di organisasi kepolisian. Sepertinya organisasi Polri terlihat makin kacau dan semaunya," ungkapnya.
"Institusi Polri terlihat makin tidak taat hirarki. Proses karir tidak lagi harus urut kacang dan tidak harus mengikuti penggolongan senior yunior untuk jabatan tertentu yang strategis. Tapi lebih pada faktor kedekatan dengan orang orang tertentu. Institusi Polri terlihat makin tidak mendalami esensi pembinaan karyawan (binkar) di dalam kepolisian," lanjutnya.
Atas dasar itu, menurut dia, cara seperti ini dinilai akan berdampak buruk bagi lingkungan polri.
"Anggota Polri semakin tidak punya pegangan dalam menapaki jenjang kariernya. Sistem yang terjadi di Polri sekarang ini bukan out off the box tapi kekonyolan yang bisa membuat frustrasi dan menghancurkan institusi Polri," pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko membantah tudingan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane yang menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang menonjolkan 'geng Solo' di tubuh Polri.
Neta menyoroti ini terkait pemilihan Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) Irjen Nana Sudjana menjadi Kapolda Metro Jaya.
Moeldoko menjelaskan pengangkatan seseorang untuk menduduki posisi tertentu pasti melewati sejumlah penilaian.
Selain itu dilihat pula dari sisi prestasi dan latar belakang yang bersangkutan apakah layak mendapatkan jabatan tersebut atau tidak.
"Seperti saya menjadi panglima (TNI). Saya mengenali orang-orang yang dulu pernah bekerja dengan saya dan memiliki prestasi yang baik sehingga pada saat menjadi panglima mereka-mereka ini bisa saya tunjuk sebagai asisten saya. Analoginya seperti itulah kira-kira," ungkap Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (23/12/2019).
Moeldoko menuturkan tidak mungkin sebuah jabatan, termasuk kursi Kapolda Metro Jaya yang strategis dipertaruhkan tanpa pertimbangan matang.
"Pasti ada sebuah pertimbangan, kalkulasi-kalkulasi yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan itu memiliki kapasitas untuk bekerja, memiliki loyality untuk bekerja," ungkap mantan Panglima TNI itu.
Selain kapasitas dan loyalitas, lanjut Moeldoko, seseorang diangkat dalam jabatan pucuk pimpinan harus memiliki integritas.
"Tiga poin itu yang selalu ditekankan dalam memilih seseorang ketika diangkat sebagai pimpinan. Enggak mungkin sebuah jabatan yang sangat penting dipertaruhkan dengan cara-cara mendapatkan seseorang yang tidak terbukti hebat di lapangan," tegasnya.