TRIBUNNEWS.COM - Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana mengungkapkan ada tumpang tindih klaim di Natuna.
Pernyataan tersebut disampaikan Hikmahanto dalam acara Kabar Petang yang diunggah di kanal YouTube TVOneNews, Minggu (5/1/2020).
Hikmahanto menyebut, persoalannya adalah saat ini coast guard China bukan berada di laut teritorial Indonesia, melainkan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
"Jadi begini yang terjadi sekarang bukan di laut teritorial, kalau misalnya coast guard China itu memasuki laut teritorial, kita betul TNI harus turun," ujar Hikmahanto.
"Tetapi ini kan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kita," ujarnya.
Menurut Hikmahanto, ZEE dalam hukum internasional merupakan laut lepas, tidak boleh ada kedaulatan yang ditegakkan di sana.
Namun, Indonesia sendiri punya hak untuk berdaulat di sana.
"Hak berdaulat maksudnya, kekayaan yang berada di ZEE boleh diambil."
"Nah kita boleh melakukan penegakkan terhadap nelayan-nelayan China yang mengambil sumber daya alam di sekitar sana," ungkapnya.
Namun, yang terjadi saat ini, China merasa bahwa itu juga wilayah ZEE mereka.
"Tetapi yang sekarang ini kejadiannya adalah China merasa bahwa itu juga ZEE nya, karena mereka mempunyai sembilan garis putus," ungkapnya.
Sembilan garis putus atau nine dash line merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China.
Garis tersebut dibuat tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Sea (UNCLOS).
"Lalu kemudian atas dasar sembilan garis putus itu, ada pulau namanya Pulau Nansha," kata Hikmahanto.
Karena itulah, China menganggap ada ZEE nya yang bertumpang tindih dengan ZEE Indonesia.
"Nansya itu kemudian ditarik garisnya, mereka mengatakan bahwa ada sejenis ZEE yang bertumpang tindih dengan ZEE kita," ungkapnya.
Anggapan tersebut yang membuat kapal coast guard China akhirnya memasuki wilayah di Natuna.
"Nah itu makanya kapal-kapal coast guard dari China itu masuk ke wilayah itu, ketika dipanggil oleh kapal Bakamla kita, coast guard mereka tidak mau," jelas Hikmahanto.
Adanya tumpang tindih klaim ini menyebabkan klaim China tidak diakui oleh Indonesia dan sebaliknya, China juga tidak mengakui ZEE Indonesia.
Jadi Tempat Favorit Kapal Asing Masuk, Ini Potensi Menggiurkan yang Dimiliki Laut Natuna
Kabar mengenai pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Natuna akhir-akhir ini menjadi sorotan.
Kondisi terbaru, tiga kapal Vietnam dan beberapa kapal China terpantau sedang melakukan aktivitas di Laut Natuna.
Tak hanya itu, China bahkan mengklaim perairan Natuna sebagai miliknya.
Dasar yang dipakai China untuk mengklaim Perairan Natuna yang masuk wilayah Laut Cina Selatan adalah sembilan garis putus atau nine dash line.
Nine dash line merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Sementara itu, Pemerintah Indonesia menegaskan, tidak akan pernah mengakui nine dash atau sembilan garis putus-putus yang diklaim oleh China.
Maraknya kapal asing yang beraktivitas di Natuna tidak lepas dari potensi yang terkandung di Perairan Natuna tersebut.
Berikut adalah potensi yang dimiliki Perairan Natuna:
Sektor Perikanan
Dikutip dariĀ kkp.go.id, potensi sumber daya ikan Laut Natuna adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun, atau sekira hampir 50 persen dari potensi WPP 711.
Jumlah tersebut berdasarkan studi identifikasi potensi sumber daya kelautan da perikanan Provinsi Kepulauan Riau yang dilakukan oleh KKP pada tahun 2011.
Namun dari jumlah tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan hanya 80 persen dari potensi lestari, yakni sekitar 403.370 ton.
Komoditas perikanan tangkap potensial Kabupaten Natuna terbagi menjadi dua kategori, yakni ikan pelagis dan ikan demersal.
Potensi ikan pelagis Kabupaten Natuna mencapai 327.976 ton per tahun.
Dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 262.380,8 ton per tahun atau 80 persen dari potensi lestari.
Sementara itu, potensi ikan demersal di Kabupaten Natuna mencapai 159.700 ton per tahun.
Tak hanya itu, beberapa jenis ikan di Kabupaten Natuna yang potensial untuk dikembangkan antara lain ikan dari jenis kerapu-kerapuan.
Seperti tongkol, teri, tenggiri, ekor kuning, selar, kembung, udang putih, udang windu, kepiting, rajungan, cumi-cumi dan sotong.
Daerah penangkapan ikan nelayan di perairan Natuna oleh nelayan tradisional dan nelayan besar berada di sekira area perairan.
Lokasi penangkapan itu di antaranya, sekira Pulau Bunguran, Natuna Besar, Pesisir Pulau Natuna, Midai, Pulau Serasan, Tambelan, dan Laut Cina Selatan.
Sementara untuk penangkapan kapal besar umumnya berada di luar lokasi 4 mil laut yang berada di wilayah Laut Natuna dan Laut Cina Selatan.
Minyak dan Gas Bumi
Dikutip dariĀ Kompas.com, mantan Deputi Badan pelaksana Kegiatan Huklu Minyak dan Gas, Haposan Napitupulu menjabarkan jika Laut Natuna memiliki cadangan minyak dan gas (migas) yang besar.
Blok Natuna D-Alpha merupakan blok migas yang sangat besar.
Kegiatan eksplorasi telah dilakukan sejak akhir 1960-an di lapangan gas Natuna D-Alpha dan lapangan gas Dara.
Saat itu, satu dari perusahaan migas Itali, Agip melakukan survei seismik laut yang ditindaklanjuti dengan melakukan 31 pengeboran eksplorasi.
Kegiatan tersebut berhasil menemukan cadangan migas terbesar sepanjang 130 tahun sejarah permigasan Indonesia.
Dengan cadangan gas 222 triliun kaki kubik (TCF) dan 310 juta bbl minyak dengan luas 25 x 15 kilometer persegi serta tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter.
Saat ini, ada 13 perusahaan migas, dua di antaranya perusahaan migas nasional melakukan kegiatan operasi perminyakan di Laut Natuna.
Enam blok di antaranya telah dan akan berproduksi, sementara tujuh blok lainnya masih dalam tahap eksplorasi.
Produksi gas dari blok-blok produksi di Laut Natuna sebagian besar disalurkan ke Malaysia dan Singapura.
Kontraknya masih berlanjut sampai 2021-2022.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri) (Kompas.com/Muhammad Idris)