Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani menepis tudingan ada penyelundupan produk hukum terkait Undang-Undang KPK hasil revisi, seperti tuduhan Muhammad Isnur.
"Kayak DPR ini penyeludup saja melakukan hal itu," ujar Sekretaris Jenderal PPP ini kepada wartawan di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Hal ini akan terbukti di Mahkamah Konstitusi (MK) karena gugatan atas Undang-undang KPK sedang diuji.
"Kalau negara demokrasi, kita dengarkan saja ya. Toh sekarang persoalan UU KPK revisi yang melahirkan UU Nomor 19 2019 itu kan sedang diuji materi di sana, ya nanti silahkan saja," jelas Arsul Sani.
Baca: Komisioner KPU Wahyu Setiawan Kena OTT, Djarot Benarkan Kader PDI-P Terseret: Dukung Proses Hukum
Baca: Eks Orang Bawaslu Penerima, Ini Peran 4 Tersangka yang Ditetapkan KPK Kasus Suap Komisioner KPU
Baca: Penyidik KPK Sambangi Kantor DPP PDIP, Sekjen PDI Perjuangan: Memang Benar Datang Beberapa Orang
Karena itu dia meminta dibuktikan saja tudingan adanya penyeludupan produk hukum tersebut.
"Silahkan yang mengatakan itu penyeludupan UU didahlilkan dan dibuktikan di sana. Nanti kan DPR juga akan diminta keterangan oleh MK," ucapnya.
Tim kuasa hukum Komisi III DPR juga akan menyiapkan keterangan mengenai revisi UU KPK.
Hal senada juga disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang menegaskan tidak ada penyelundupan hukum terkait Undang-Undang KPK hasil revisi, seperti tuduhan Muhammad Isnur.
"Tidak ada, itu resmi. Dulu sudah dijelaskan, ditunda pembahasannya dan waktu itu draf semua sudah ada, maka oleh DPR diajukan kembali, ya kita bahas," tutur Yasonna di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Menurut Yasonna, persoalan Undang-Undang KPK yang saat ini sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK) biarlah berjalan dan tidak perlu diperdebatkan di ruang publik.
"Tapi pemerintah dan DPR akan memberikan bukti-bukti," ucap Yasonna.
Sebelumnya, kuasa hukum pemohon permohonan pengujian formil atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, menilai DPR RI telah melakukan penyelundupan hukum atas terbitnya aturan hukum tersebut.
Hal ini disampaikan Muhammad Isnur pada saat memberikan keterangan pada sidang perkara nomor 79/PUU-XVII/2019 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Rabu (8/1/2020), sidang beragenda perbaikan permohonan.
Sidang perkara ini dipimpin hakim konstitusi, Arief Hidayat, didampingi dua hakim konstitusi lainnya, yaitu Suhartoyo dan Wahiduddin Adam.
"Jadi, perbaikan permohonan secara tertulis sudah diterima di kepaniteraan. Majelis panel sudah membaca sehingga, tidak perlu disampaikan keseluruhan. Pokok perubahan saja," kata Arief Hidayat, saat sesi persidangan.
Sementara itu, Muhammad Isnur menyampaikan ada lima poin perubahan dari permohonan yang sudah disampaikan.
"Pertama, pembentuk undang-undang melakukan penyelundupan hukum dalam proses perencanaan dan pembahasan perubahan kedua UU KPK," kata Isnur, kepada majelis hakim konstitusi.
Pada berkas permohonan perbaikan, pihaknya mengungkapkan bagaimana modus penyelundupan yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang atau dalam hal ini DPR RI.
"Kami membuatkan chart atau diagram pembahasan yang tidak lebih dari 14 hari," kata dia.
Selain membeberkan modus penyelundupan hukum berupa terbitkannya UU KPK hasil revisi, dia membeberkan soal pembentukan aturan itu yang tidak partisipatif.
Dalam hal ini, kata dia, DPR RI tidak melibatkan KPK dan perwakilan elemen masyarakat selama proses pembahasan UU tersebut.
Lalu, pada saat pengambilan keputusan pengesahan UU, dia melanjutkan, sidang paripurna tidak kuorum.
Terakhir, pihaknya menemukan fakta bahwa pembentuk undang-undang menggunakan naskah akademik fiktif yang tidak memenuhi syarat perencanaan perubahan kedua UU KPK.
"Kami menemukan fakta di halaman 1, 2 naskah akademik 2019 di halaman 3 sampai berikutnya menggunakan naskah akademik 2011," ungkapnya.
Semua temuan adanya dugaan penyelundupan hukum itu, kata dia, dilengkapi bukti-bukti pendukung.
"Kami sudah kumpulkan video bukti sesuai saran yang mulia," kata dia.
Mengingat adanya dugaan cacat formil selama proses pembentukan UU itu, dia mengharapkan, agar UU KPK hasil revisi dinyatakan tidak berlaku.
"Di poin pertama mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Di poin kedua menyatakan mengalami cacat formil sehingga aturan yang dimaksud tidak berlaku dan batal demi hukum," kata dia.
"Di poin tiga, (UU KPK hasil revisi,-red) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan di poin empat kami memohon menyatakan UU nomor 30 Tahun 2002 diberlakukan kembali," tambahnya.
Untuk diketahui, sebanyak 13 orang pemohon mengajukan permohonan “Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Tiga pemohon diantaranya, yaitu Ketua dan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019. Mereka yaitu Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, dan Saut Situmorang.
Objek permohonan, yaitu Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perubahan Kedua UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).