Laporan Wartawan Kompas.com Sania Mashabi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Yudisial belum berencana memanggil Hakim MA yang mengeluarkan putusan uji materi Pasal 54 Ayat 5 PKPU Nomor 3 Tahun 2019 ataupun hakim yang mengeluarkan fatwa terkait putusan PKPU.
Putusan tersebut terkait pergantian antar-waktu (PAW) caleg PDI Perjuangan di DPR RI.
Menurut dia, pemanggilan baru akan dilakukan jika ada pihak yang melakukan pelaporan ke KY.
Ketua Komisi Yudisial, Aidul mengatakan, jika ada pelaporan, pihaknya akan melakukan pemeriksaan berkas terlebih dahulu.
Kemudian, KY akan memutuskan apakah memanggil hakim terkait atau tidak.
"Apakah akan diperiksa hakim agung yang bersangkutan akan tergantung hasil dari pemeriksaan pendahuluan," kata Aidul saat dihubungi Kompas.com, (13/1/2020).
Baca: Kasus Dugaan Suap Politisi PDI Perjuangan, Masinton: Ada Tim Lapangan KPK yang Slonong Boy
Baca: KPK Minta Bantuan Interpol Buru Harun Masiku di Luar Negeri
Aidul menegaskan, KY tidak berhak menilai benar atau salahnya putusan MA.
Kata dia, fatwa MA tidak bersifat mengikat.
"Fatwa MA bukan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat, melainkan hanya pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara lainnya," ujar dia.
KY, kata dia, hanya akan melaksanakan kewenangan jika ada pelaporan ada dugaan pelanggaran etik hakim dalam memutuskan perkara tersebut.
"Kewenangan KY apabila hakim agung dalam memeriksa perkara atau melaksanakan kewenangan, termasuk dalam membuat fatwa, menunjukkan indikasi ada dugaan pelanggaran kode etik hakim, termasuk dugaan atas tidak netral atau terkesan tidak netral dalam menangani suatu perkara atau dalam melaksanakan kewenangannya," ucap dia.
Sebelumnya, fatwa Mahkamah Agung (MA) menjadi salah satu poin yang diungkapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam kronologi kasus caleg PDI Perjuangan dari dapil Sumatera Selatan I.
Menurut Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik, fatwa MA disampaikan melalui Surat MA Nomor 37/Tuaka.TUN/IX/2019 tanggal 23 September 2019.
Baca: Imigrasi: Hingga Hari Ini Belum Ada Data Harun Masiku Kembali ke Indonesia
Baca: OTT KPK Seret PDI Perjuangan, Alexius Akim Caleg Gagal PDIP Kalbar Angkat Bicara
Fatwa itu menyebutkan bahwa untuk melaksanakan Putusan MA, KPU wajib konsisten menyimak pertimbangan hukum dalam putusan dimaksud.
"Khususnya (pertimbangan hukum) halaman 66-67, yang antara lain berbunyi “Penetapan suara calon legislatif yang meninggal dunia, kewenangannya diserahkan kepada pimpinan partai politik untuk diberikan kepada Calon Legislatif yang dinilai terbaik” kata Evi, Jumat (10/1/2019).
Adapun putusan MA yang dimaksud berdasarkan pengajuan uji materi Pasal 54 Ayat (5) PKPU Nomor 3 Tahun 2019.
Amar putusan MA antara lain berbunyi: “…dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk partai politik bagi calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk partai politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon.”
Berdasarkan lembaran Surat MA Nomor 37/Tuaka.TUN/IX/2019 tanggal 23 September 2019 yang diterima Kompas.com, ada dua poin penting yang tercantum dalam fatwa tersebut.
Pertama, bahwa dalam memutus/memberi pendapat hukum, MA tidak boleh "duduk di kursi pemerintahan", kecuali hanya memutus dari segi "hukumnya".
Kedua, bahwa untuk melaksanakan putusan MA tersebut KPU wajib konsisten menyimak pertimbangan hukum dalam putusan MA nomor 57 P/HUM/2019 halaman 66-67.
Pertimbangan hukum itu menyatakan, "Penetapan Suara Calon Legislatif yang meninggal dunia kewenangannya diserahkan kepada pimpinan parpol untuk diberikan kepada caleg yang dinilai terbaik."
Fatwa ini ditandatangani oleh Ketua Muda MA Urusan Peradilan Tata Usaha Supandi. Ketua lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif Veri Junaidi menilai bahwa fatwa MA soal penggantian antarwaktu caleg PDI Perjuangan itu tidak wajar.
Sebab, MA tidak memiliki kewenangan untuk menjadi penengah dalam perdebatan siapa caleg PDI Perjuangan yang berhak menggantikan caleg dengan perolehan suara tertinggi.
"Memang (fatwa MA) di luar kewajaran. Kalo mau memperdebatkan siapa caleg dengan perolehan suara kedua untuk menggantikan caleg pemenang pertama tentu itu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Veri ketika dikonfirmasi Kompas.com, Sabtu (11/1/2020).
Berdasarkan fatwa MA, KPU diminta melaksanakan putusan MA untuk melakukan PAW kepada caleg tertentu.
"Sedangkan tugas KPU dalam proses PAW ini hanya memverifikasi siapa caleg yang memperoleh suara kedua yang sah untuk menggantikan caleg dengan perolehan suara pertama (yang meninggal dunia)," kata Veri.
Menurut Veri, dalam konteks kasus PAW caleg PDI Perjuangan, partai mencoba mencari ruang hukum dengan uji materi Peraturan KPU (PKPU).
Veri menduga, secara legal, PDI Perjuangan mencoba menggeser pemenang ketiga versi penetapan hasil rekapitulasi suara KPU menjadi pemenang kedua.
"Caranya dengan menguji PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang rekapitulasi hasil pemilu. Jadi dalam putusan MA-nya memutuskan bahwa suara untuk caleg yang meninggal sebelum pemungutan suara tetap sah untuk partai politik dan suara untuk caleg yang tidak memenuhi syarat tetap dihitung untuk caleg," papar Veri.
"Dengan begitu, partai berharap bisa menggeser pemenang ketiga menjadi pemenang kedua. Nah di sini lah missing link-nya karena proses perselisihan hasil pemilunya sudah selesai di MK," kata Veri.
Selain itu, kata Veri, dalam proses PAW caleg parpol hanya berwenang mengusulkan saja, sebab, pengganti dalam mekanisme tersebut memang harus caleg dengan perolehan suara berikutnya.
"Sehingga tidak bisa berdasar keinginan parpol untuk menempatkan caleg tertentu. Sebab ini terkait dengan suara rakyat, yang diberikan dalam pemilu," ucap Veri.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Jika Ada Laporan, KY Bisa Panggil Hakim MA Pembuat Fakwa PAW Caleg PDI-P