TRIBUNNEWS.COM - Pengamat budaya Bani Sudardi mengungkapkan alasan orang-orang rela menjadi pengikut Keraton Agung Sejagat di Purworejo.
Ada tiga hal yang disebut Bani mengenai alasan itu.
Menurutnya, hal itu menyangkut soal kebodohan, tidak memiliki wawasan, ingin mencari sensasi, dan adanya unsur kepentingan.
"Yang pertama karena kebodohan, orang-orang yang menerima menjadi bagian kerajaan mungkin tidak memiliki wawasan."
"Wawasan tersebut antara lain wawasan agama, politik dan kewarganegaraan," tutur Bani kepada Tribunnews.com, Selasa (14/1/2020).
Hal kedua yang disebut Bani adalah orang-orang yang ikut dengannya bisa jadi ingin membuat sensasi.
"Memang orang-orang itu ingin menciptakan sensasi supaya diperhatikan," ujar Bani melalui sambungan telepon.
Sementara hal ketiga menurut Bani, mereka memiliki kepentingan tertentu.
"Bisa jadi ada orang-orang yang punya kepentingan tertentu, saya tidak bisa mengatakan kepentingannya apa."
"Tetapi nanti akan terungkap sekira setahun atau dua tahun ke depan," kata dia.
Bani menceritakan sebuah kepentingan yang biasanya dianut oleh kelompok tersebut.
"Dulu pernah ada kelompok Islam yang membawa orang sampai ke Kalimantan kemudian menetap di sana."
"Ternyata kelompok itu memiliki kepentingan ekonomi, mereka meminta harta benda dari para pengikutnya untuk menciptakan suatu kawasan yang direncanakan," ujar Bani.
Namun kelompok yang belum sempat berkembang itu sudah ditutup oleh pemerintah.
Jika memang terbukti memiliki kepentingan yang meresahkan masyarakat.
Bani mengatakan nasib dari Keraton Agung Sejagat bisa sama.
"Mungkin nasibnya akan sama jika nanti berkembang sampai meresahkan masyarakat."
"Sementara mereka hanya 400-an orang yang tidak mungkin melawan seluruh rakyat Indonesia," tambah Bani.
Hingga kini Keraton Agung sejagat masih ramai diperbincangkan publik.
Bani juga mengatakan sudah ada keberatan terkait kelompok itu dari masyarakat.
"Saya sempat mendengar juga masyarakat Purworejo itu keberatan."
"Hal itu terkait dengan keyakinan masyarakat yang rata-rata muslim," ujar Bani yang juga menjadi Guru Besar Ilmu Budaya di Universitas Sebelas Maret (UNS).
Seperti diketahui Keraton Agung Sejagat kerapkali melakukan ritual 'kerajaan'.
"Misalnya mereka melakukan suatu ritual-ritual yang mencerminkan suatu tradisi kesyirikan hal itu akhirnya menimbulkan kemarahan dan menganggu masyarakat," tegas Bani.
Aktivitas Keraton Agung Sejagat menurut warga
Menurut penuturan warga, area rumah atau yang disebut keraton kerap melakukan aktivitas budaya.
Awalnya, warga sekitar tak menaruh curiga dengan keberadaan bangunan tersebut.
Seorang warga bernama Sumarni (53) yang rumahnya dekat dengan Keraton Agung Sejagat mengatakan, ia mendengar akan ada museum di lokasi tersebut.
"Akan ada semacam museum, ada berbagai macam kesenian lainnya. Sehingga masyarakat sekitar makmur karena ada wisatawan akan datang," katanya, dikutip dari Tribun Jateng.
Menurut Sumarni, awalnya kerajaan tersebut merupakan komunitas yang kerap mencairkan dana pemerintah.
Perkumpulan tersebut bernama Development Economic Commite (DEC).
Aktivitas orang-orang di kerajaan tersebut biasanya dimulai pada pukul 17.00 WIB hingga 22.00 WIB.
Mereka kerap melakukan upacara ala manten Jawa seperti adanya tari gambyong, cucuk lampang, hingga prosesi pecah telor.
"Kita sebagai warga jelas heran itu ada apa kok malem-malem seperti itu," tambahnya.
Masih menurut Sumarni, para punggawa kerajaan bukan merupakan orang sekitar lokasi.
Mereka dikabarkan datang dari beberapa daerah di Yogyakarta seperti Bantul dan Imogiri.
Orang-orang tersebut mulai datang ke lokasi sekitar pertengahan Agustus 2019.
Dikatakan Sumarni, mengutip dari sumber yang sama, mereka datang menggunakan kain tradisional seperti kerajaan.
Saat ini pengikut Keraton Agung Sejagat disebut mencapai 425 orang.
(Tribunnews.com/Maliana, Tribunjateng.com/Permata Putra Sejati)